Custom Search

Selasa, 15 April 2014

Ajaran Ahmadiyah dan Pendirinya


Mirza Ghulam Ahmad, Sekilas Riwayat Hidup

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jamaah Ahmadiyah, berasal dari keluarga terhormat. Mirza adalah gelar yang biasa diberikan kepada kaum ningrat keturunan raja-raja Islam dinasti Moghul berasal dari Persia. Sebutan Hadhrat biasa diberikan orang kepada wujud-wujud suci, atau pada ‘alim rabbani; sebutan Ghulam merupakan nama famili. Jadi, nama asli beliau hanyalah Ahmad.
Hadhrat Ahmad dilahirkan pada tanggal 13 Pebruari 1835, sesuai dengan 14 Syawal 1250 H, pada hari Jumat di kediaman orang tua beliau sendiri, Mirza Ghulam Murtadha, di dusun Qadian, yang terletak 24 Km dari kota Amritsar, Punjab, India.


Keluarga Mirza yang menetap di dusun Qadian itu mempunyai hak atas seluruh dusun Qadian dan berhak memungut pajak 5 % dari tiga desa sekitarnya. Setelah mengalami kejayaannya, kerajaan Moghul mengalami kepudarannya dan menjadi terpecah-pecah, lalu dilanda oleh kebangunan kembali raja-raja Hindu dan Sikh, hingga musnah sama sekali dengan datangnya Inggris.

Di zaman penjajahan Inggris ayahanda beliau berusaha mendapatkan kembali hak-hak atas tanah milik beliau dengan membelanjakan puluhan ribu rupees, untuk memenangkan tuntutan di meja hijau, akan tetapi semuanya tidak berhasil. Sebagai ayah, Mirza Ghulam Murtadha menumpahkan banyak harapan kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, agar sang putra kelak dapat berjuang memulihkan kejayaan dan pamor duniawi keluarga Mirza. Akan tetapi Hadhrat Ahmad berkecenderungan sebaliknya, bahkan beliau mengungkapkan perasaan beliau: “Aku tidak menghendaki kekayaan dalam arti kata duniawi, akan tetapi kaya dalam arti rohani….”

Sekedar hormat dan taat kepada ayahanda, beliau acapkali juga menyelasaikan perkara-perkara pengadilan membantu ayahanda; akan tetapi sebenarnya beliau merasa enggan dan hati beliau selalu dekat kepada urusan rohani dan mencari kepuasan dalam asyiknya berzikir dan beribdah kepada Allah SWT.

Kata beliau dalam sebuah syair:“Aku punya teman dan aku dipenuhi kecintaan-Nya
Aku merasa muak dengan segala pangkat dan kehormatan
Kulihat dunia dan pengikut-pengikutnya menderita kelaparan
Namun negeri cintaku tak pernah mengalami kekurangan
Manusia cenderung kepada kesenangan dunia
Sedang aku cenderung ke Wajah yang memberi kenikmatan dan kesyahduan”

Hadhrat Ahmad tidak pernah menduduki bangku sekolah, karena memang sekolah-sekolah tidak ada waktu itu di Qadian. Akan tetapi sebagai anak dari keluarga terhormat, beliau di asuh oleh guru-guru pribadi yang mengajarkan Al-Quran dan bahasa Persia. Beliau menunjukan bakat dan keinginan belajar yang luar biasa, dengan demikian kecintaan kepada Al-Quran tumbuh dan semakin meresap ke dalam hati sanubari beliau.

Sebagai orang yang mempunyai pembawaan suci, kebanyakan waktu beliau lewatkan di dalam mesjid, asyik membaca dan muthalaah Al-Quran dan sering orang mendapatkan beliau berjalan mondar-mandir di mesjid dengan sebuah kitab di tangan, satu tanda, otak beiau penuh dengan daya dinamika, dan hati penuh dengan kecintaan kepada Al-Quran. [3]

Beberapa waktu sebelum Mirza Ghulam Mutadha wafat, Hadhrat Ahmad bermimpi, seorang malaikat datang kepada beliau dan menasihati beliau supaya menjalankan ibadah puasa tertentu sesuai dengan sunnah para rasul Allah dan Waliullah untuk memungkinkan diri beliau menerima rahmat Allah.
Maka, beliaupun menjalankan puasa-puasa itu dengan diam-diam tanpa diketahui orang.

Beliau tinggal disebuah kamar ditingkat atas dan mengatur agar makanan dibawakan ke kamar beliau. Dengan diam-diam beliau suka mengundang anak-anak miskin dan anak-anak yatim makan bersama-sama. Sesudah dua atau tiga minggu berikutnya beliau memutuskan mengurangi makan beliau sedikit demi sedikit, sampai akhirnya beliau cukupkan hanya makan sekerat roti saja untuk mengisi perut beliau sehari semalam. Dalam hari-hari itu banyak ru’ya yang beliau saksikan.
Pada tahun 1876 ketika Hadhrat Ahmad sedang tinggal di Lahore, beliau menerima ilham bahwa ayah beliau akan segera tutup usia. Beliau segera pulang ke Qadian dan mendapatkan ayahanda sedang sakit karena desentri. Beliau diberi kabar lagi oleh Allah, bahwa ayah beliau akan wafat sesudah matahari terbenam

Tampil Membela Islam

Pada masa itu badai perlawanan terhadap Islam menjadi-jadi, menerjang dari segala jurusan. Perlawanan paling sengit datang dari golongan Kristen dan dari sekte Hindu Arya Samaj, yang memburuk-burukan nama dan pribadi Nabi Muhammad SAW., sedangkan orang-orang Islam mereka jadikan bulan-bulanan, tak ubahnya seperti perahu yang dipermainkan gelombang samudra.

Dengan rasa pedih Hadhrat Ahmad menangkis serangan-serangan itu dengan mengirimkan artikel-artikel dalam surat-surat kabar. Disaat menghebatnya serangan-serangan itu beliau acapkali menerima ilham-ilham yang mengandung kabar ghaib, yang kelak menjadi sempurna pada waktunya.
Ketika serangan-serangan semakin gencar dan ulama-ulama lain tidak kuasa menangkis serangan-serangan itu, beliau mengambil keputusan menulis buku yang terbit dengan nama Barahin Ahmadiyah. Jilid pertama terbit bulan Mei 1879. Untuk menerbitkan buku itu beliau tidak mempunyai dana, untuk itu beliau berdoa kepada Allah, dan hasil bantuan pun mengalirlah.
Di dalam buku Barahin Ahmadiyah itu, beliau mengungkapkan keluhuran dan keindahan Islam serta mengumumkan, bila seorang penganut agama lain dapat menampilkan keluhuran dan keindahan agamanya melebihi ajaran Islam, seperti yang diuaraikan beliau, maka beliau bersedia memberikan hadiah sebesar Rs. 10.000.- (Sepuluh ribu rupees). Ternyata, tidak seorang pun sanggup memenuhi tantangan itu.

Alim-Ulama Islam, diantaranya ulama besar Maulvi Muhammad Husain Batalwi, mengakui keunggulan kitab itu dan memuji penyusunnya. Bahkan ulama besar itu mengatakan, dalam jangka 13 abad, tidak pernah terbit satu kitab pun seperti Barahin Ahmadiyah. Kitab itu pun semakin terkenal, dan dari beberapa kalangan datang anjuran-anjuran kepada beliau agar beliau menerima bai’at dari orang-orang, tetapi beliau selalu mengelak, sampai akhirnya, Desember 1888, beliau menerima perintah Tuhan, dan beliau melaksanakan perintah Tuhan itu dengan menerima bai’at yang pertama dari orang-orang di kota Ludhiana, pada 23 Maret 1889. Pada pembaiatan pertama itu, kurang lebih 40 orang bai’at ke tangan beliau, diantaranya adalah Al-Haj Maulvi Hakim Nurudin, yang kelak menjadi Khalifah Al-Masih pertama setelah Hadhrat Ahmad wafat.[4]

Klaim Sebagai Imam Mahdi dan Al-Mmasih Yang Dijanjikan

Dalam tahuan 1890 beliau membuat karya tulis bernama Fath Islam, disusul kemudian oleh karya berikutnya Taudhih Maram. Kedua karya itu terbit tahun 1891, bersama karya tulis lain yaitu Izala Auham. Di dalam buku-buku tersebut beliau mengumumkan, berdasarkan ilham yang beliau terima, Allah SWT., telah menunjuk beliau sebagai Al-Mahdi dan Al-Masih yang Dijanjikan kedatangannya oleh Rasulullah SAW. Memperkuat pengakuannya, beliau mengutip banyak ayat-ayat Al-Quran, diantaranya Surah 1:6; 24:55; 73:15)., dan Hadits-hadits Rasulullah SAW., serta pernyataan-pernyataan Nabi Isa as., yang terdapat dalam Biybel, seperti dalam Kitab Yahya 14:3; Ibrani 4:28; Matius 29:39; dll. Dalam buku lainnya, yang diterbitkan pada tahun 1901, Hadhrat Ahmad menyatakan : “Maka, aku-lah, sesungguhnya, Masih yang dijanjikan itu”.[5]

Mengikuti Seminar Agama-Agama

Pada tahun 1986 di kota Lahore diadakan seminar agama-agama atas prakarsa beberapa tokoh yang bercita-cita hendak menghentikan sengketa antar agama di India. Dalam seminar itu wakil-wakil berbagai agama menampilkan lima pokok masalah, dengan syarat isinya tidak menyerang agama lain dan agar diketengahkan argumen-argumen yang langsung dari kitab sucinya masing-masing.

Kelima pokok masalah itu adalah sebagi berikut :
Keadaan jasmani, akhlak dan rohani manusia.
Keadaan manusia sesudah mati
Maksud hidup manusia di dunia dan Jalan untuk mencapainya
Akibat atau dampak perbuatan manusia di dunia dan di akhirat
Jalan-jalan atau sarana untuk memperoleh ilmu dan ma’rifat Ilahi
Oleh panitia seminar tersebut beliau pun diminta ambil bagian dan beliau menjanjikan akan ikut serta dalam seminar itu. Sebelum seminar itu berlangsung, beliau menerima kabar dari Tuhan, bahwa makalah beliau akan unggul. Kabar tersebut beliau umumkan dalam surat-surat selebaran. Beliau sendiri tidak dapat hadir dalam seminar itu, tetapi mengutus salah seorang pengikut beliau, Maulvi Abdul Karim, yang mendapat kehormatan membacakan makalah beliau.
Surat-surat kabar saat itu, dalam laporannya masing-masing, mengakui keunggulan makalah yang ditulis Hazrat Mirza Ghulam Ahmad itu. Seperti, The Theosophical Book Notes menulis: “Penampilan tentang agama Muhammad yang terbaik dan paling menarik, yang baru kita jumpai”. [6]
Harian Bristol Times and Miror memberikan ulasan: “Jelas orangnya bukan orang sembarangan jika berbicara demikian ke khalayak barat itu”.
Lalu, The Muslim Review (India) menulis: “Dengan membaca makalah kecil itu nyata diperhitungkan untuk menghilangkan banyak salah pengertian tentang Islam”.
Dan tidak ketinggalan, pujangga kenamaan Rusia, Leo Tolstoy, juga menulis: “The ideas are very profound and very true” – gagasan-gagasannya sangat mendalam dan sangat benar”.[7]
Makalah yang dibacakan dalam seminar agama-agama tersebut telah diterbitkan dalam berbagai bahasa, diantaranya dalam bahasa Arab dengan judul: Falsafah al ta’alim al Islamiyah, dalam bahasa Inggris dengan judul: The Teaching of Islam, juga dalam bahasa Indonesia dengan judul: Filsafat Ajaran Islam.

Dakwah Kepada Ratu Victoria Dari Inggris

Pada tahun 1893, Hadhrat Ahmad menerbitkan karya tulis beliau yang lain berjudul : Aina Kamalati Islam. Buku tersebut berisi uraian-uraian yang mencerminkan keindahan dan keluhuran agama Islam, serta ajakan dan da’wah beliau kepada Ratu Victoria dari Inggris, untuk memeluk agama Islam.
Dengan kata-kata yang gagah dan berwibawa, beliau menulis:

“Hai, Sri Baginda Ratu. Berlimpah-limpah kebajikan Tuhan telah dianugrahkan kepada Sri Baginda Ratu dalam urusan duniawi. Kini, dambakanlah kerajaan rohani. Bertaubatlah, taatilah Dia, dan sanjunglah Dia, yang di dalam Kerajaan-Nya, tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai serikat. Wahai, Sri Baginda Ratu, terimalah Islam, dan Baginda akan selamat…”. [8]

Kewafatan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad wafat pada tanggal 26 Mei 1908, di Lahore, dan dikebumikan di Qadian setalah berpesan kepada jemaat beliau dalam kitab beliau yang terakhir, Al-Wasiyat. (ibid., hal 15).

Saat beliau wafat (1908), beliau meninggalkan lebih 400.000 orang pengikut. Sekarang, setelah 102 tahun kewafatannya, jumlah pengikutnya berkembang sangat pesat, lebih 200.000.000. (dua ratus juta) orang, tersebar di lebih 190 negara diseluruh penjuru dunia.
Peta perkembangan dakwah dan pengaruh ajarannya yang mengglobal, tentu saja menyempurnakan kabar suka yang pernah dibuatnya. Hadhrat Ahmad berkata:

“Dengarlah, wahai umat manusia, dan saksikanlah, bahwasanya Allah yang menjadikan langit dan bumi ini, telah memberi kabar ghaib kepadaku, Dia akan menyebarkan Jemaat ini diseluruh dunia, dan Dia akan memberi kemenangan kepada Jemaat ini diatas golongan lain, semuanya dengan jalan keterangan dan hujjah …. Aku datang hanya untuk menanam benih ini, dan aku telah menanamnya. Sekarang benih ini akan senantiasa tumbuh terus dan niscayalah akan berbuah pula, lagi tak ada siapa pun yang dapat menghalangi kemajuannya”. [9]

Mirza Ghulam Ahmad, Sekilas Ajaran

1. Meyakini dan Mengajarkan Nabi Muhammad SAW., adalah ”Khataman-Nabiyyin”
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jamaah Ahmadiyah dengan tegas menyatakan imannya pada Khatamun-Nubuwwah Rasulullah SAW. Ia, berulang-ulang, mengemukakan dan menyatakan dengan tandas, Nabi Muhammad SAW., adalah manusia pilihan Allah, dan betul-betul Khataman-Nabiyyin.
Hadhrat Ahmad berkata :

“Dengan sungguh-sungguh saya percaya bahwa Nabi Muhammad SAW., adalah Khayamul Anbiya. Seorang yang tidak percaya pada Khatamun Nubuwwah beliau (Rasulullah SAW), adalah orang yang tidak beriman dan berada diluar lingkungan Islam”. [10]

“Inti dari kepercayaan saya ialah: Laa Ilaaha Illallaahu, Muhammadur-Rasulullaahu (Tak ada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah). Kepercayaan kami yang menjadi pergantungan dalam hidup ini, dan yang pada-Nya kami, dengan rahmat dan karunia Allah, berpegang sampai saat terakhir dari hayat kami di bumi ini, ialah bahwa junjungan dan penghulu kami, Nabi Muhammad SAW., adalah Khaataman-Nabiyyin dan Khairul Mursalin, yang termulia dari antara nabi-nabi. Di tangan beliau hukum syari’at telah disempurnakan. Karunia yang sempurna ini pada waktu sekarang adalah satu-satunya penuntun ke jalan yang lurus dan satu-satunya sarana untuk mencapai “kesatuan” dengan Tuhan Yang Maha Kuasa”. [11]

“Martabat luhur yang diduduki junjungan dan penghulu kami, yang terutama dari semua manusia, Nabi yang paling besar, Hadrat Khatamun-Nabiyyin SAW., telah berakhir dalam diri beliau yang didalamnya terhimpun segala kesempurnaan dan yang sebaliknya tak dapat dicapai manusia”. [12]

“Yang dikehendaki Allah supaya kita percaya hanyalah ini, bahwa Dia adalah Esa dan Muhammad SAW., adalah Nabi-Nya, dan bahwa beliau adalah Khatamul-Anbiya dan lebih tinggi dari semua makhluk”. [13]

“Saya katakan dengan sejujur-jujurnya bahwa kami dapat berdamai dengan ular berbisa dan serigala buas, tetapi kami tak dapat berkompromi dengan orang yang melakukan serangan-serangan keji terhadap Nabi Muhammad yang kami cintai, orang yang lebih kami hargakan dari kehidupan kami dan orang tua kami”. [14]

“Sekiranya orang-orang ini membantai anak-anak kami di muka mata kami dan mencincang apa-apa yang kami kasihi sampai berkeping-keping dan membuat kami mati dengan hina dan malu dan merampas semua harta dunia kami, maka demi Tuhan, semua itu tidak akan begitu menyakitkan hati kami seperti yang kami alami atas cacian dan hinaan yang dilancarkan kepada Nabi kami, Muhammad SAW.,”. [15]

“Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya kami beriman kepada Allah sebagai Tuhan, dan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang nabi, serta kami beriman, beliau adalah Khaataman-nabiyyin”. [16]

Meyakini dan Mengajarkan, Khaataman-Nabiyyin berarti : nabi terakhir, penutup segala nabi, tidak akan ada lagi nabi, baik nabi lama mupun nabi baru
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jamaah Ahmadiyah, juga meyakini dan mengajarkan “Khaataman-Nabiyyin” berarti : nabi terakhir, penutup segala nabi, tidak akan ada lagi nabi, baik nabi lama mupun nabi baru.
Hadhrat Ahmad berkata :

“Apa yang Tuhan kehendaki dari dirimu berkenaan dengan segi kepercayaan hanyalah demikian : Tuhan itu Esa dan Muhammad SAW., adalah nabi-Nya serta Khatamul Anbiya, lagi beliau adalah termulia. Sesudah beliau, kini tiada nabi lagi kecuali yang secara buruzi (bayangan) dikenakan jubah Muhammadiyat”. [17]

“……….Untuk sampai kepada-Nya, semua pintu tertutup, kecuali sebuah pintu yang dibukakan oleh Quran Majid. Dan semua kenabian dan semua Kitab-kitab yang terdahulu tidak perlu lagi diikuti, sebab kenabian Muhammadiyah mengandung dan meliputi kesemuanya itu. Selain ini, semua jalan tertutup. Semua jalan yang sampai kepada Tuhan terdapat didalamnya. Sesudahnya tidak akan datang kebenaran baru, dan tidak pula sebelumnya ada suatu kebenaran yang tidak terdapat didalamnya. Sebab itu, diatas kenabian ini habislah semua kenabian. Memang, sudah sepantasnya demikian, sebab sesuatu yang ada permulaannya, tentu ada pula kesudahanya”. [18]

“Ya, karena segala keperluan telah sempurna, maka syariat serta hukum-hukum pun telah sempurna. Dan seluruh kerasulan serta kenabian telah mencapai kesempurnaannya pada titik yang terakhir, dalam wujud Junjungan kita Muhammad SAW”. [19]

“Sebab itu, diatas kenabian ini habislah semua kenabian. Memang, sudah sepantasnya demikian, sebab sesuatu yang ada permulaannya, tentu ada pula kesudahannya”.[20]

“Dan hakikat yang sebenarnya, saya berikan kesaksian sepenuhnya, Nabi kita, Muhammad SAW, adalah Khaatamul Anbiyaa dan sesudah beliau SAW, tidak ada lagi nabi yang datang, baik nabi lama maupun nabi baru..[21]

Meyakini dan Mengajarkan, Khaataman-Nabiyyin Selain Berarti : penutup segala nabi, nabi terakhir, Namun Tidak Menolak Jika Khaataman-Nabiyyin Mempunyai Arti Lain
Selain meyakini dan mengajarkan, Khaataman-Nabiyyin berarti : penutup segala nabi, nabi terakhir, tidak akan ada lagi Nabi, baik nabi lama atau pun nabi, namun Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jamaah Ahmadiyah, tidak menolak jika Khaataman-Nabiyyin mempunyai arti lain, seperti: yang paling mulia, yang paling afdhal, dan paling semurna.
Hadhrat Ahmad berkata :

“Sedikitpun tidak diragukan lagi, Muhammad SAW. adalah terbaik diantara
seluruh makhluk.
Paling mulia diantara yang mulia dan inti orang-orang yang terpilih.
Segala sifat baik yang terpuji, pada diri beliaulah puncaknya.
Dan anugrah/nikmat yang ada pada setiap zaman, telah berakhir dalam dirinya.
Beliau adalah yang terbaik dari semua orang yang mendapat qurub Ilahi
sebelumnya.
Dan keunggulan beliau karena kebaikan-kebaikan, bukan karena zaman.
Wahai Tuhanku, turunkanlah berkat-berkat kepada Nabi-Mu abadi selamanya.
Di dunia ini dan di hari kebangkitan kedua”. [22]

“Cahaya derajat tinggi yang telah dianugrahkan kepada manusia, yakni kepada insan kamil (Rasululullah SAW), tidak didapati dikalangan para malaikat, tidak didapati pada bintang-bintang, tidak didapati pada matahari, tidak didapati pada samudra-samudra dan lautan di bumi, tidak ditemukan pada batu ruby, permata, zamrud, maupun intan. Ringkasnya, cahaya itu tidak didapati pada benda apa pun di bumi dan di langit. Hanya di dapati pada manusia, yakni insan kamil (manusia sempurna), dalam bentuknya yang paling lengkap, paling sempurna, paling tinggi dan paling mulia, yakni : Sayyidul Anbiya Sayyidul Hayaa Muhammad Mushtafa shallallaahu ‘alaihi wassallam”. [23]

“Yang memiliki kemuliaan paling tinggi saat ini adalah dia yang bernama Mushtafa.
Dia adalah Nabi golongan yang benar dan suci.
Darinya mengalir kebenaran dengan deras.
Dari wujudnya terpancar aroma kebenaran
Padanya berakhir segala kemuliaan nabi
Imam yang memiliki rupa suci dan prilaku yang suci”. [24]

“Yang mulia Sayyidinaa Muhammad Mushtafa shallallaahi ‘alaihi wasallam memiliki bagian paling agung dan paling besar dari fitrat Ruhul Qudus. Di dunia ini hanya Muhammad Mushtafa shallallaahi ‘alaihi wasallam yang telah tampil sebagai ma’shum kamil”. [25]

Senada dengan Pendiri Jamaah Ahmadiyah, Imam Jamaah Ahmadiyah ke-2, Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, juga tidak menolak jika Khaataman-Nabiyyin mempunyai arti lain, seperti : yang paling mulia, yang paling afdhal, yang paling semurna, cincin, cap atau stempel. Cincin, dalam pengertian sebagai sumber perhiasan atau keindahan para nabi. Cap atau Stempel, dalam pengertian, tidak ada nabi yang dibenarkan kenabiannya baik dimasa lalu maupun dimasa yang akan datang, tanpa pengesahan atau “Segel Khaataman-nabiyyin”, Nabi Muhammad SAW. [26]

Meyakini dan Mengajarkan, Karena Rasulullah Adalah Khaataman-Nabiyyin, Maka Sesudah Beliau Tidak Boleh Lagi Datang Nabi Baik Nabi Lama Maupun Nabi Baru
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jamaah Ahmadiyah, meyakini dan mengajarkan, karena Rasulullah adalah Khaataman-Nabiyyin, maka sesudah beliau tidak boleh lagi datang nabi, baik nabi lama maupun nabi baru.
Hadhrat Ahmad berkata :

“Dan hakikat yang sebenarnya, saya berikan kesaksian sepenuhnya, Nabi kita, Muhammad SAW, adalah Khaatamul Anbiyaa dan sesudah beliau SAW, tidak ada lagi nabi yang datang, baik nabi lama maupun nabi baru..[27]

Yang dimaksud Nabi Lama oleh Pendiri Ahmadiyah ialah Nabi Isa as, seperti diyakini umat Islam akan datang pada akhir zaman. Sedangkan yang dimaksud dengan Nabi Baru ialah nabi yang membawa agama baru, kitab suci baru, kalimah syahadat baru, terpisah dari Islam dan Nabi Muhammad SAW.

Dua macam nabi ini – nabi lama atau nabi baru, menurut Pendiri Ahmadiyah, kedua-duanya tidak boleh datang sepeninggal Rasulullah SAW,. Jika Nabi Isa as, datang – seperti diyakini umat Islam, maka kedatangannya – menurut Pendiri Ahmadiyah, akan merusak segel “Khataman-Nabiyyin”, Nabi Muhammad SAW. Begitu pula nabi baru – yang membawa agama baru, kitab suci baru, kalimah syahadat baru, terpisah dari Islam dan Nabi Muhammad SAW., jika ia datang maka kedatangannya juga akan merusak “Segel Khataman-Nabiyyin”, Nabi Muhammad SAW,.[28]
Penjelasan Pendiri Ahmadiyah ini menunjukan, makna khaataman-Nabiyyin yang diyakini, dan diajarkan Pendiri Ahmadiyah, jauh lebih hebat dibanding dengan makna khaataman-Nabiyyin yang di fahami, dan diyakini, umat Islam pada umumnya.

Umat Islam umumnya, memahami dan meyakini, khaataman-nabiyyin berarti penutup segala nabi, tidak ada lagi nabi sesudahnya. Tetapi, umat Islam juga meyakini, kelak di akhir zaman akan datang lagi Nabi Isa as. Aneh, dan mengherankan. Katanya, meyakini Rasulullah SAW, adalah khaataman-nabiyyin – penutup segala nabi, tidak ada lagi nabi sesudahnya, baik nabi lama maupun nabi baru, tetapi pada saat yang sama, mereka juga meyakini, Nabi Isa as, akan datang lagi di akhir zaman.
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Ahmadiyah, meyakini, dan mengajarkan, karena Rasulullah SAW., adalah Khaataman Nabiyyin – penutup segala nabi, maka sesudah beliau SAW., tidak boleh lagi datang nabi, baik nabi lama (seperti Nabi Isa as.,) atau Nabi baru (yang bawa agama baru, kitab suci baru, kalimah syahadat baru – seperti misalnya, Bahai, atau Ahmad Mushaddiq, yang belum lama menghebohkan jagat tanah air). Nabi lama maupun nabi baru – dalam persepetif Pendiri Jamaah Ahmadiyah, jika datang, kedua-duanya akan merusak “Segel Khaataman-Nabiyyin” Nabi Muhammad SAW,.

Meyakini dan Mengajarkan, Nabi Isa Telah Wafat, Dan Nabi Isa Yang Dijanjikan Akan Datang Di Akhir Zaman Adalah Orang Lain Yang Memiliki Spirit Isa, Dan Isa Ibnu Maryam Yang Dijanjikan Itu Beliaulah Orangnya


Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jamaah Ahmadiyah, meyakini dan mengajarkan, sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits, Nabi Isa as, telah wafat dalam usia 120 tahun[29], dan meyakini Nabi Isa Yang Dijanjikan akan datang oleh Rasulullah SAW., sesuai dengan nubuwat Nabi Muhammad SAW., adalah orang lain yang memiliki spirit Isa ibnu Maryam, sehingga bergelar Isa ibnu Maryam[30], dan Isa ibnu Maryam Yang Dijanjikan Kedatangannya oleh Rasulullah SAW, itu, beliaulah orangnya.
Hadhrat Ahmad berkata :

“Hendaknya, anda mengerti dengan seyakin-yakinnya, Isa ibnu Maryam telah wafat dan kuburannya terdapat di desa Khanyar, kota Srinagar, Kasymir”.[31]

“Biarkanlah beliau wafat, agar agama (Islam) ini hidup”.[32]

“Maka, aku-lah sesungguhnya Masih yang dijanjikan itu”.[33]

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Ahmadiyah, juga berpendapat, Isa ibnu Maryam Yang Dijanjikan kedatangannya oleh Rasulullah SAW, yang berasal dari kalangan umat Islam itu, jika datang, tidak akan mengurangi martabat, dan tidak akan merusak “Segel Khaataman-nabiyyin” Nabi Muhammad SAW,. Sebab, selain memiliki spirit Isa, dan menjadi buruz (bayangan) Isa, ia juga menjadi buruz (bayangan) Rasulullah SAW,.
Hadhrat Ahmad berkata :

“Apa yang Tuhan kehendaki dari dirimu berkenaan dengan segi kepercayaan hanyalah demikian : Tuhan itu Esa dan Muhammad SAW., adalah nabi-Nya serta Khatamul Anbiya, lagi beliau adalah termulia. Sesudah beliau kini tiada nabi lagi kecuali yang secara buruzi (bayangan) dikenakan jubah Muhammadiyat. Sebab seorang khadim tidaklah terpisah dari makhdum-nya (majikannya), demikian pula sebuah dahan tidak terpisah dari akarnya.
Maka, barangsiapa karena sama sekali melarutkan diri di dalam wujud majikannya dan menerima gelar kenabian dari Tuhan, ia tidak mencemari gelar Khatamun Nubuwwat. Tak ubahlah halnya seperti kamu sekalian melihat rupamu pada cermin, kamu tidak menjadi dua bahkan kamu tetap satu adanya, kendatipun nampaknya dua. Bedanya hanya terletak dalam bentuk zil (bayangan) dan bentuk asal belaka.

Demikianlah Tuhan menghendaki tentang seorang Masih Mau’ud. Disinilah letak rahasia Sabda Rasulullah SAW., yang mengatakan, Masih Mau’ud akan dikubur di dalam kuburan beliau SAW., yakni orang yang dimaksud itu akulah dan dalam hal ini (antara wujud Rasulullah SAW., dan Masih Mau’ud as.), tidak terdapat perlainan”.[34]

Meyakini dan Mengajarkan, Khaataman-Nabiyyin – Nabi Terakhir, Penutup Segala Nabi, Tetapi Tidak Berarti Aliran Air Rohani Telah Berakhir
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jamaah Ahmadiyah, meyakini dan mengajarkan, kedudukan Nabi Muhammad SAW, benar sebagai Khaataman-Nabiyyin – penutup segala nabi, nabi yang terakhir, tidak akan ada lagi nabi, baik nabi lama mupun nabi baru. Akan tetapi, tidak berarti, Nabi Muhammad SAW., telah menutup dan mengakhiri aliran air rohani.
Hadhrat Ahmad berkata :

“Akan tetapi Kenabian Muhammadiyah ini tidak akan kurang-kurang mengalirkan air ruhaninya. Malah diantara semua kenabian yang paling banyak aliran air keruhaniannya adalah di dalamnya. Mengikuti kenabian ini, dengan jalan yang sangat mudah dapat menyampaikannya kepada Tuhan. Dengan mengikutinya akan lebih banyak menerima hadiah kelezatan cinta kepada Allah Ta’ala dan hadiah bercakap-cakap dengan Dia, lebih dari yang dulu-dulu. Tetapi mengikutinya dengan sesempurna-sempurnanya bukan saja dinamai nabi – karena kalau begini bearti penghinaan terhadap Kenabian Muhammadiyah yang telah cukup dan sempurna, ya, kata-kata ummati dan nabi kedua-duanya sekaligus tepat padanya”.[35]

Meyakini dan Mengajarkan, Semua Pintu Kenabian – Tasyri’ Maupun Ghairi Tasyri’, Telah Tertutup, Kecuali Pintu Penyerahan Seluruhnya Kepada Nabi Muhammad SAW.
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Ahmadiyah, berpendapat, karena aliran air ruhani di dalam Kenabian Muhammadiyah tidak berhenti, mengalir terus sepanjang zaman, maka semua pintu kenabian – Tasyri’ maupun Ghairi Tasyri’, Mustaqil maupun Ghairi Mustaqil, lama maupun baru, telah tertutup, kecuali pintu penyerahan seluruhnya kepada Nabi Muhammad SAW.
Hadhrat Ahmad berkata :

“Lembaga Kenabian telah tertutup, kecuali melalui dan di dalam Nabi Muhammad SAW., Nabi pembawa syari’at tidak mungkin lagi datang. Seorang Nabi tanpa syariat baru bisa datang, tetapi lebih dulu ia harus seorang ummati, yakni seorang pengikut Nabi Muhammad SAW”.[36]

“Semua pintu kenabian telah tertutup kecuali pintu penyerahan seluruhnya kepada Nabi Muhammad SAW., dan pintu fana seluruhnya ke dalam beliau”. [37]

“Sesudah Nabi Muhammad SAW., tidak boleh lagi mengenakan istilah Nabi kepada seseorang, kecuali bila ia lebih dahulu menjadi seorang ummati dan pengikut dari Nabi Muhammad SAW”.[38]

“Setelah Rasulullah SAW, segenap pintu kabar gaib telah ditutup. Dan tidak mungkin sekarang ada orang Hindu, atau Yahudi, atau Kristen, atau orang Muslim yang tidak sejati dapat membuktikan kata nabi bagi dirinya. Segenap jendela nubuwat (kenabian) telah ditutup”.[39]

“Namun, ada satu jendela sirat siddiqi yang terbuka, yakni jendela Fana fir Rasul SAW, (mabuk dalam kecintaan kepada Rasulullah SAW). Jadi, seseorang yang memuji Allah lewat jendela ini, maka kepadanya dipakaikan jubah kenabian itu secara bayangan, yakni jubah kenabian Muhamad SAW. Oleh karena itu kedudukan orang itu sebagai nabi bukanlah sesuatu yang harus dikecam. Sebab kenabian tersebut dia peroleh bukan karena dirinya sendiri, melainkan dia peroleh dari mata air nabi-nya. Dan itu bukan untuk dirinya, melainkan untuk keperkasaan Nabi SAW, itu juga. Itulah sebabnya di Langit orang itu dinamakan Muhammad dan Ahmad. Artinya, kenabian Muhammad SAW, itu akhirnya hanya diraih oleh Muhammad juga, walau pun dalam bentuk bayangan, dan tidak diraih oleh orang lain”.[40]

“Sekarang pangkat kenabian hanya dapat diraih oleh orang yang didalam amal perbuatannya terdapat stempel ittiba’ Nabawi SAW, (mengikuti Rasulullah SAW,.) Dan, dengan demikian, orang itu merupakan putra Rasulullah SAW., serta merupakan ahli-waris Beliau SAW,.”[41]

Meyakini dan Mengajarkan Dua Macam Nabi : Tasyri’ dan Ghairi Tasyri’, Mustaqil dan Ghairi Mustaqil

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Ahmadiyah, mengemukakan definisi kenabian yang sebelumnya belum pernah dikemukakan para ulama Islam pada umumnya. Menurut beliau, Nabi terdiri dari dua macam, yakni : Nabi Tasyri’ dan Nabi Ghairi Tasryri’.[42]
Nabi Tasyri’ dan Nabi Ghairi Tasyri’, menurut beliau terbagi dua macam lagi, yaitu : Mustaqil dan Ghairi Mustaqil.[43]

Semua Nabi, mulai dari Adam as, hingga Rasulullah SAW., menurut Pendiri Jamaah Ahmadiyah, semuanya mustaqqil – berdiri sendiri, menjadi nabi bukan karena mengikut nabi sebelumnya, melainkan karena quad qudsiyah – daya pensucian yang yang dimiliki dirinya, sehingga Allah menganugrahi pangkat Nabi.

Nabi Tasyri’ dan Nabi Ghairi Tasyri’ Mustaqil, menurut Pendiri Jamaah Ahmadiyah, pintunya sudah tertutup rapat, putus, habis, telah berakhir, dan tidak akan ada lagi, karena Rasulullah SAW., adalah Khaataman-Nabiyyiin[44], dan Islam adalah agama yang paripurna dan lengkap.[45]
Pangkat nabi, sepeninggal Rasulullah SAW., bisa dicapai, tetapi – seperti dijelaskan Pendiri Jamaah Ahmadiyah pada bagian 7 diatas, harus melalui dan didalam Nabi Muhammad SAW., melalui jendela Fana Fir-Rasul, melalui pintu penyerahan, pintu fana, pintu ittiba’, seluruhnya kedalam Nabi Muhammad SAW.

Kenabian jenis ini, dalam istilah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Ahmadiyah, disebut Nabi Ghaiiri Tasyri’ Mustaqil – Nabi yang tidak membawa syariat dan tidak berdiri sendiri, menjadi nabi semata-mata karena ketaatan dan karena mengikut nabi. Dalam istilah lainnya, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Ahmadiyah, menamakan kenabian jenis ini dengan istilah : Zhilun-Nabi, Buruzin-Nabi, atau Ummati Nabi.

Kenabian seperti ini, menurut Pendiri Ahmadiyah, tidak akan mengurangi martabat Nabi Muhammad SAW., sebagai Khaataman-Nabiyyin, dan tidak akan merusak “Segel Khaataman-Nabiyyin” Nabi Muhammad SAW,. Sebab, pada hakikatnya, kenabian seperti ini bukan kenabian dia lagi, melainkan kenabian Rasulullah SAW., juga yang zahir dalam satu cara yang baru. Wujud mereka bukan wujud mereka lagi. Dalam kaca kefanaan mereka terbayang wujud Yang Mulia Rasulullah SAW,. Kenabiannya, bukan karena dirinya, melainkan karena mata air dari Nabi-nya. Kenabiannya, bukan untuk dirinya, melainkan untuk keperkasaan Nabi-nya SAW,.[46]
Theologi kenabian Pendiri Ahmadiyah, jika dituangkan dalam bentuk tabel, dapat dikemukakan, sbb :

Menolak Disebut Nabi Dalam Arti Tasyri Mustaqil – Nabi yang membawa syariat (agama), dan Berdiri Sendiri, Terpisah Dari Islam, Seperti Yang Seringkali Disangkakan
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Ahmadiyah, menolak disebut nabi yang membawa agama dan syariat, nabi yang berdiri sendiri (mustaqil) – terpisah dari Islam dan Rasulullah SAW., yang dalam istilah beliau disebut juga “Nabi Hakiki”.
Hadhrat Ahmad berkata :

“Tuduhan yang dilemparkan kepada saya ialah bahwa bentuk kenabian yang saya akui buat diri saya menyebabkan saya keluar dari Islam. Dengan perkataan lain saya dituduh mempercayai bahwa saya adalah nabi yang berdiri sendiri, seorang nabi yang tak perlu mengikuti Al-Quran Suci, dan bahwa kalimah saya lain dan qiblat saya berubah. Juga saya disangkakan menghapus syariat dan memutuskan tali kesetiaan kepada Nabi Muhammad SAW,. Tuduhan itu sama sekali palsu. Sesuatu pengakuan kenabian seperti itu adalah kufur; ini jelas. Bukan hanya kini, tetapi dari sejak permulaan sekali, saya selalu mengemukakan dalam buku-buku saya, bahwa saya tidak mengakui kenabian seperti itu untuk saya. Itu sama sekali adalah tuduhan kosong dan suatu cercaan terhadap saya. Keadaan sebenarnya hanyalah ini: Bila saya menyebutkan diri saya seorang nabi, saya maksudkan hanya bahwa Allah SWT., berbicara dengan saya dan Dia bercakap-cakap dengan saya dan menerima pengabdian saya, dan mewahyukan kepada saya hal-hal ghaib, dan membukakan kepada saya rahasia-rahasia yang berhubungan dengan masa datang dan yang tidak akan Dia bukakan kepada seseorang yang tidak Dia cintai dan dekat kepada-Nya. Sesungguhnya, Dia mengangkat saya sebagai nabi, dalam arti itu”.[47]

Sangat Menentang dan Menolak Kehadiran Nabi Yang Membawa Agama dan Syariat Baru
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Ahmadiyah, sangat menentang dan menolak kehadiran nabi yang membawa agama dan syariat baru, nabi yang berdiri sendiri (mustaqil), yang dalam istilah beliau disebut juga sebagai “Nabi Hakiki”.
Hadhrat Ahmad berkata :

“Akidah kami adalah, seseorang yang mendakwakan kenabian secara hakiki dan melepaskan dirinya dari karunia/berkat-berkat Rasulullah SAW, serta memisahkan diri dari mata air suci itu, lalu dia ingin secara langsung menjadi nabi Allah, berarti dia itu sesat dan tidak beragama.
Dan orang seperti itu akan membuat suatu kalimat syahadat tersendiri dan akan menciptakan cara baru dalam peribadatan serta akan mengadakan perubahan dalam hukum-hukum.
Jadi, tidak disangsikan lagi, dia adalah saudara bagi Musailamah Kadzzab.
Dan, tidak diragukan lagi sedikitpun mengenai kekafirannya.
Mengenai orang bejad seperti itu bagaimana mungkin dapat dikatakan bahwa dia mempercayai Quran Syarif”.[48]

“Barangsiapa berkata sesudah Rasuullah SAW., bahwa ‘Aku adalah nabi dan rasul dalam makna hakiki’, sedangkan dia berdusta dan dia meninggalkan Al-Quran serta hukum-hukum Syariat yang mulia (Al-Quran), berarti dia kafir dan pendusta”.[49]

Kenabian Yang Diproklamirkan Adalah Kenabian Buruzi atau Zhilli, bukan kenabian Tasyri’ ataupun Ghairi Tasyri’ Mustaqil, Atau Nabi Hakiki.
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Ahmadiyah, tidak pernah memproklamirkan diri sebagai nabi Tasyri’ ataupun Ghairi Tasyri’ Mustaqil atau Nabi Hakiki. Diatas telah dikemukan, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Ahmadiyah, menolak disebut nabi seperti itu, dan sangat menentang keras kepada orang yang memproklamirkan diri sebagai nabi seperti itu.
Kenabian yang diproklamirkan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Ahmadiyah, hanyalah kenabian Ghairi Tasyri dan Ghairi Mustaqil – tidak membawa syariat, tidak berdiri sendiri, tidak terpisah dari Islam dan Rasulullah SAW., menjadi semata-mata karena kepengikutan dan kataatan kepada Nabi Muhammad SAW., yang dalam istilah lain oleh beliau disebut kenabian buruzi atau zhilli, bukan kenabian hakiki.
Hadhrat Ahmad berkata :

“Ringkasnya, kenabian dan kerasulan saya adalah berdasarkan kedudukan sebagai Muhammad SAW., dan Ahmad SAW., bukan berdasarkan diri saya sendiri. Dan nama itu saya peroleh karena Fana Fir Rasul SAW, (mabuk dalam kecintaan terhdap Rasulullah SAW). Oleh karena itu makna khaataman-nabiyyin tidak terganggu”.[50]

“Akan tetapi, mukaalamat dan mukhaatabat (percakapan) yang saya peroleh dari Allah Ta’ala, yang didalamnya banyak sekali terdapat kata nubuwwat (kenabian) dan risalat (kerasulan), saya tidak dapat menyembunyikannya karena saya diperintahkan. Namun, berkali-kali saya katakan, bahwa kata mursil atau rasul atau nabi yang terdapat didalam ilham-ilham itu mengenai diri saya, itu bukanlah dalam makna-makna hakiki.

Dan hakikat yang sebenarnya, saya berikan kesaksian sepenuhnya, Nabi kita, Muhammad SAW, adalah Khaatamul Anbiyaa dan sesudah beliau SAW, tidak ada lagi nabi yang datang, (yakni nabi) yang lama maupun baru.

Barangsiapa berkata sesudah Rasulullah SAW, bahwa “Aku adalah nabi dan rasul dalam makna hakiki, sedangkan dia berdusta dan meninggalkan Al-Quran serta hukum-hukum syariat yang mulia, berarti dia kafir dan pendusta”.[51]

“…. Dalam makna, saya telah memperoleh karunia/berkat-berkat dari Rasul panutan saya, dan saya telah memperoleh namanya untuk diri saya, dan melalui perantaraannya saya telah memperoleh ilmu ghaib dari Allah, (dalam makna-makna itulah) saya rasul dan nabi, tetapi tanpa syariat baru. Saya tidak pernah mengingkari sebutan nabi dalam makna demikian. Justru dalam makna-makna itu Allah telah menyebut saya nabi dan rasul. Jadi, sekarang pun saya tidak mengingkari kedudukan sebagai nabi dan rasul dalam makna-makna tersebut. Dan ucapan saya adalah, saya bukanlah rasul dengan kitab syariat baru. Ya, ini pun hendaknya harus diingat dan jangan sekali-kali dilupakan, yakni walau pun saya dipanggil dengan kata nabi dan rasul, kepada saya telah diberitahukan oleh Allah bahwa segenap karunia/berkat itu bukan tanpa perantara telah turun pada saya, melainkan di Langit terdapat satu wujud suci yang berkat-berkat rohaninya telah meliputi diri saya, yakni Muhammad Musthafa shalallaahu ‘alaihi wassalam. Dengan menjunjung perantaraan (hubungan) itu, dan dengan menyatu didalamnya, dan dengan menyandang namanya – Muhammad dan Ahmad, saya juga adalah seorang rasul dan seorang nabi. Yakni, saya telah diutus dan saya juga telah memperoleh kabar-kabar ghaib. Dan dengan cara demikian, stempel/segel Khaataman-Nabiyyin tetap terpelihara. Sebab saya telah memperoleh nama itu secara pantulan dan bayangan melalui cermin kecintaan. Jika ada orang yang murka atas wahyu Ilahi ini, yakni mengapa Allah Ta’ala menamakan saya sebagai nabi dan rasul, berarti itu kebodohannya. Sebab dengan kedudukan saya sebagai nabi dan rasul (seperti itu), tidak meruntuhkan stempel/segel Allah”.[52]

“Jika saya bukan umat Rasulullah SAW., dan tidak mengikuti beliau SAW., maka walau pun amal-amal saya sama dengan segenap gunung di dunia ini, tetap saja saya sekali-kali tidak akan pernah memperoleh anugrah mukaalamah mukhaatabah. Sebab, sekarang selain kenabian Muhammad SAW., segenap kenabian telah tertutup”.[53]

Theologi Kenabian Ghairi Tasyri dan Ghairi Mustaqil, Zillun-Nabi atau Buruzin-Nabi Yang Dikembangkan Pendiri Ahmadiyah, Sama Substansi, Beda Istilah
Theologi kenabian Ghairi Tasyri dan Ghairi Mustaqil, Zillun-Nabi atau Buruzin-Nabi yang dikembangkan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Ahmadiyah, ternyata sama substansinya dengan yang difahami, diyakini, dan diajarkan para ulama Islam umumnya – khususnya yang tergabung dalam ahli sunnah wal jamaah, hanya beda istilah saja.
Dalam Ahkam Al-Fuqaha, kitab kumpulan masalah-masalah agama yang diterbitkan oleh Nahdhatul ‘Ulama (NU), terdapat tanya jawab antara jamaah dan mu’tamar, sbb :
Soal : Bagaiaman pendapat muktamar tentang Nabi Isa as., setelah turun kembali ke dunia. Apakah tetap sebagai Nabi dan Rasul? Padahal Nabi Muhammad SAW, adalah Nabi terakhir? Dan apakah mazhab empat itu akan tetap ada pada waktu itu?

Jawab : “Kita wajib berkeyakinan bahwa Nabi Isa a.s, itu akan diturunkan kembali pada akhir zaman nanti sebagai Nabi dan Rasul yang melaksanakan syariat Nabi Muhammad SAW., dan hal itu, tidak berarti menghalangi Nabi Muhammad sebagai Nabi yang terakhir, sebab Nabi Isa a.s, hanya akan melaksanakan syariat Nabi Muhammad SAW. Sedangkan mazhab empat pada waktu itu hapus (tidak berlaku)”.[54]

Ahkam Al-Fuqaha juga menjelaskan, jika Isa datang dengan menyandang gelar Nabi tidak bertentangan dengan Firman Allah: Walakir-Rasulallaahi Wa khaataman-Nabiyyin (Al-Ahzab:40). “Firman Allah tersebut tidak bertentangan dengan (Hadits) yang menjelaskan tentang turunnya Isa a.s. di akhir zaman, karena ia tidak akan datang dengan ajaran yang menghapuskan ajaran Nabi Muhammad SAW., namun justru akan menetapkannya dan mengamalkannya”.[55] Dan, Ahkam Al-Fuqaha lagi, jika Isa datang, ia akan menerima wahyu langsung melalui lisan Jibril as : “Wahuwa Annahu Yuuha ila-sayidi ‘Iisa ‘alaihi-sholaatu-wassalam, bi syarii’atin-Muhammadin sholalaahi ‘alaihi wassalam, ‘alaa lisaani jibriili ‘alaihi-sholaatu-wasslam”.– bahwasanya ia, (Isa as.), akan mendapat wahyu untuk melaksanakan syariat Muhammad SAW., melalui lisan Jibril as”.[56]
Memang, ada perbedaan personifikasi Isa yang diyakini akan datang oleh umat Islam umumnya – khususnya yang tergabung dalam ahli sunnah wal jamaah, dengan yang tergabung dalam Ahmadiyah.
Menurut ahli sunnah wal jamaah, Isa yang akan datang itu betul-betul Isa yang dahulu yang pernah diutus Allah kepada Bani Israil, yang tidak disalib, melainkan diangkat Allah ke langit, dan hidup sampai sekarang.

Sementara menurut Ahmadiyah, Isa yang akan datang itu bukan Isa yang pernah diutus Allah kepada Bani Israel dahulu, karena yang dahulu benar disalib tetapi tidak wafat diatas salib, hanya pingsan saja, dan sudah wafat secara wajar dalam usia 120 tahun, serta berkubur di bumi ini tepatnya di Srinagar, Kasymir India. Isa yang akan datang, menurut yang tergabung dalam Ahmadiyah, ialah orang lain dari kalangan umat Islam yang memiliki spirit Isa ibnu Maryam, sehingga ia mendapat kehormatan dari Allah untuk menyandang gelar Isa ibnu Maryam.
Namun, meskipun terdapat perbedaan personifikasi Isa, esensi keyakinan antara ahli sunnah wal jamaah dan Ahmadiyah tetap sama. Yaitu, sama-sama meyakini Isa akan datang, dan sama-sama meyakini, jika Isa datang, ia tidak akan menghalangi Nabi Muhammad sebagai yang terakhir, dan tidak akan merusak segel khaataman-nabiyyin Nabi Muhammad SAW, karena ia datang hanya akan melaksanakan syariat Nabi Muhammad SAW,.

Kepercayaan Umum Yang Dianut Ahmadiyah

Berikut ini adalah kepercayaan umum yang dianut Ahmadiyah :
 Pertama: Ahmadiyah meyakini sepenuhnya, Allah itu Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Esa (tunggal) dalam Dzat-Nya, dalam Sifat dan dalam Perbuatan-Nya. Penyembahan kepada-Nya (ibadah) juga tidak ada sama-Nya. Ahmadiyah meyakini, Dzat-Nya, sifat dan perbuatan (fi’il)-Nya, serta dalam ibadah kepada-Nya tidak boleh dipersekutukan dengan apa pun juga.

Kedua: Ahmadiyah mempercayai Kalam Ilahi sejak alam semesta ini Dia jadikan, Sifat Allah Yang Mutakallim senantiasa hidup, tidak pernah terhenti pada masa apa pun juga. Oleh karena itu, Ahmadiyah mempercayai semua Kitab-Nya, semua wahyu-Nya. Ahmadiyah mempercayai Kalam Ilahi diturunkan dalam bahasa apa saja, dan di daerah, wilayah atau negeri apa saja. Dalam hubungan itu Ahmadiyah meyakini, Al-Quran Suci adalah syariat terakhir, sempurna dan lengkap lagi paripurna. Al-Quran adalah syariat bagi seluruh umat manusia, berlaku selama dunia dan penghuninya masih ada. Ahmadiyah meyakini, Al-Quran adalah satu-satunya jalan yang dapat mengantarkan manusia kepada Ilahi, Tuhan Yang menciptakannya. Di dalam Kitab Suci Al-Quran, semua kebenaran dalam bentuknya yang sempurna, yang terdapat di dalam kitab-kitab Taurat, Zabur, Injil, dan sebagainya, telah tercakup. Ahmadiyah meyakini pula, Al-Quran Suci adalah Kitab yang diatur tertib dan tersusun baik sebagai layaknya. Dalam Al-Quran tak ada sepotong ayat pun yang mansukh. Seluruh isinya adalah syariat yang muhkam, bahasanya adalah bahasa Arab yang menjadi induk semua bahasa dunia. Semua kitab suci yang turun sebelum Al-Quran telah dihapuskan. Kebalikannya, tak ada dan tak akan ada Kitab apa pun yang akan menghapuskan (memansukhkan) 

Kitab Suci Al-Quran.

Ketiga: Setiap orang Ahmadiyah (Ahmadi), meyakini dan beriman kepada semua nabi-nabi. Dalam kepercayaan Ahmadiyah, sesuai dengan ajaran Al-Quran, Allah SWT., mengutus Utusan-Nya dalam tiap umat dan kaum. Ahmadiyah mempercayai semua Nabi itu benar, suci dan ma’shum, yaitu tidak melanggar, tidak berbuat dosa. Dalam kepercayaan Ahmadiyah, Nabi Muahmmad SAW., adalah pemimpin semua Nabi. Beliau paling mulia dan paling afdhal. Kedatangan beliau adalah untuk seluruh umat manusia dan semua masa. Martabat beliau jauh lebih luhur dan lebih mulia dari semua nabi. Beliau selalu “hidup”. Oleh karena itu, maka beliau dinamakan Khataman-Nabiyyin. Semua Nabi memperoleh nikmat rohani karena beliau. Baik dimasa lalu maupun dimasa yang akan datang. Ahmadiyah mempercayai, orang yang memisahkan diri dari beliau dan ummat-Nya, kemudian ia mendakwahkan diri memperoleh nikmat rohaniah, dia adalah pendusta, lancung dan pembohong. Ahmadiyah mempercayai Nabi Muhammad SAW., sebagai Sayyidul Ma’shumin (Pemimpin dari semua orang suci tak berdosa). Ahmadiyah meyakini, beliau adalah jalan dan sebab untuk memperoleh hikmah rohani, kebajikan dan berkat Ilahi.

Keempat: Ahmadiyah mempercayai Malaikat. Malaikat sebagai ciptaan Tuhan yang ma’shum, tidak berdosa. Malaikat sebagai alat melaksanakan semua perintah Allah. Malaikat tidak dapat berbuat dosa. Malaikat pengantar Kalam Ilahi, dahulu maupun sekarang, turun kepada orang-orang (hamba) suci memberikan piagam thumanina Ilahi.

Kelima: Ahmadiyah mempercayai, hari Qiyamat adalah hak, kebenaran Hasyar dan Nasyar tepat dan benar. Surga dan neraka juga hak. Sesudah mati setiap insan akan memperoleh ganjaran atau siksaan, sesuai amal perbuatannya. Nikmat surga adalah kekal abadi, tak kenal henti atau putus. Kebalikannya neraka adalah tempat menghukum orang berdosa, guna memperbaiki dan meluruskan mereka yang harus dihukum. Allah adalah Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, paling pengasih dan paling penyayang. Ahmadiyah mempercayai, sesudah penghuni neraka itu menjalankan hukumannya dan mereka telah menjadi lurus, mereka juga akan dimasukan kedalam surga. Tuhan Sendiri Berfirman: Rahmani wasyi’at kulla syai’in, bahwa rahmat Ilahi itu meliputi segala yang ada, termasuk Neraka. Rahmat Ilahi itu harus terwujud, nyata terbukti.
Ahmadiyah meyakini, lima kepercayaan dasar tersebut sepenuhnya selaras dengan petunjuk dan kemauan Al-Quran. Dan, Ahmadiyah juga meyakini, menyimpang sehelai rambut pun dari petunjuk Al-Quran, adalah penyelewengan yang tak dapat dibenarkan. Bagi Ahmadiyah, Al-Quran adalah pegangan utama dalam semua soal dan mengenai semua masalah. Dan, dalam keyakinan Ahmadiyah, Al-Quran adalah pedoman hidup dunia-akhirat”.

Beberapa Perbedaan

Sepanjang yang berhubungan dengan tauhid ajaran Al-Quran, sepanjang kepercayaan Ahmadiyah diamalkan sebagai kegiatan hidup beragama, orang Ahmadiyah tidak bersujud kepada apa dan siapa pun kecuali Allah Yang Esa dan Tunggal itu. Tidak bersujud kepada kuburan dan tidak pula kepada sesama manusia. Orang Ahmadiyah hanya mengenal al-Hayyul Qayyum, Allah Rabbul Alamiin, dalam arti yang sebenarnya.

Kewafatan Nabi Isa as.

Menurut Ahmadiyah, berdasarkan Al-Quran, Nabi Isa as., sudah wafat secara wajar, sama dengan nabi lainnya telah pulang ke rahmatullah (Ali Imran, 3:144). Kepercayaan, Nabi Isa as., masih hidup di langit, oleh Ahmadiyah dianggap bertentangan dengan ajaran Tauhid Ilahi. Mempercayai Nabi Isa as., itu hidup di langit sejak 2000 tahun silam dengan jasad kasarnya dipandang bertentangan dengan ke-Esaan Tuhan. Oleh sebab itu, orang Ahmadiyah mempercayai, Nabi Isa as., sudah wafat, wafat seperti manusia lainnya.

Kepercayaan ini berdasarkan bukti-bukti nyata dari Al-Quran. Dalam kepercayaan Ahmadiyah, sesudah Dzat Suci Allah SWT., dari antara semua Nabi dan Rasul, insan yang paling luhur martabat dan kemuliaannya, adalah Nabi Muhammad SAW,. Menurut pengertian Ahmadiyah kepercayaan terhadap kehidupan Al-Masih secara luar biasa itu adalah kepercayaan Nasrani. Kemudian oleh sebagian orang Islam dianut sebagai kepercayaannya. Kepercayaan ini bertentangan dengan kemuliaan dan keluhuran martabat Rasulullah SAW,. Oleh sebab itulah maka orang Ahmnadiyah tidak keberatan kalau dikatakan bersikeras terhadap kematian Al-Masih itu dan berusaha meyakinkan semua orang terhadap kematian beliau itu. Ini boleh dikatakan salah satu bagian kepercayaan yang membedakan orang Ahmadiyah dengan lainnya. (Lihat, Al-Qaul Ash Sharih, 1960:12)

Masalah Nasikh-Mansukh

Hal lainnya yang membedakan orang Ahmadiyah dari yang lain dalam kepercayaannya, ialah : masalah nasikh-mansukh. Kalangan Ahlus-Sunnah wal Jamaah dan kalangan Syi’ah menganut faham nasikh-mansukh. Kalau mereka berbeda, hanya dalam masalah banyak ayat. Ada yang mengakui lima ratus ayat yang mansukh, ada yang mengakui dua ratus, dan ada yang kurang dari itu.
Ahmadiyah, dalam hal ini berpendapat, tak ada sebuah ayat pun dalam Al-Quran yang mansukh, bahkan satu kata atau satu huruf pun tak ada yang mansukh. Seluruh isi Al-Quran utuh sempurna dan tak ada yang dimansukhkan.

Kesinambungan Aliran Air Rohani

Seperti telah disebutkan diatas, orang Ahmadiyah mempercayai bahwa Rasulullah SAW., itu adalah satu-satunya wujud suci yang menjadi jalan dan sumber kelimpahan nikmat rohani yang berkelanjutan. Kepercayaan Ahmadiyah itu didasarkan pada Al-Quran (An-Nisa, 4:69).
Berdasarkan ayat diatas dan ayat-ayat lainnya, maka Ahmadiyah mempercayai, dengan pengikutan sempurna kepada Rasulullah SAW., dengan karunia dan fadhl Allah, maka di dalam umat Muhammad SAW., dapat menjadi Zhillun-Nabi, Buruzin-Nabi, atau Ummatin-Nabi, Shiddiq, Syahid dan Shaleh.

Kepercayaan orang-orang Ahmadiyah ialah, dengan pengikutan sempurna kepada Nabi Muhammad SAW., yang hidup itu, dengan pengikutan sempurna kepada Al-Quran, Kalam Allah yang penuh kehidupan dan kasih sayang itu, karunia Allah senantiasa akan terus berlangsung dan akan diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.[57]

Hadhrat Ahmad berkata:
“Hendaknya jangan kamu mengira bahwa wahyu Ilahi tidak ada lagi, dan hanya berlaku dimasa lampau saja, dan pada waktu sekarang Rohulqudus tidak dapat turun dan hanya turun pada zaman dahulu saja. Aku berkata dengan sesungguh-sungguhnya, segala pintu dapat tertutup, akan tetapi pintu untuk turunnya Rohulqudus tidak tertutup untuk selamanya. Andaikata kamu sekalian menutup jendela yang melaluinya sinar matahari masuk, berarti kamu menjauhkan dirimu sendiri dari sentuhan sinar matahari. Wahai orang yang tidak faham, bangkitlah! Bukalah jendela itu, maka dengan sendirinya matahari akan menyelinap ke dalam dirimu. Jika pada jaman ini Tuhan tidak menutup jalan anugrah duniawi bagimu, bahkan membukakannya selebar-lebarnya, apakah kamu punya persangkaan bahwa Dia telah menutup jalan anugrah samawi bagimu? Sekali-kali tidak! Bahkan pintu itu telah dibukakan seterbuka-terbukanya…..”.[58]

Pengakuan Terhadap Khulafaur-Rasyidin

Setelah wafat Rasulullah SAW., dalam hubungannya dengan masalah Khilafah antara kalangan Sunni dan Syi’ah terdapat pertentangan yang besar. Kalangan Sunni menerima dan mengakui susunan para Khalifah Rasyidin: Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Sementara kalangan Syi’ah dalam hal ini hanya mengakui Ali ra., sebagai Khalifah tak terputuskan dan yang benar. Sedang para Khalifah yang lain (na’udzubillah), bukan Khalifah dan bukan pula orang mukmin dalam arti sebenarnya.
Berkenaan dengan para Khalifah Rasyidin: Abu Bakar ra., Umar ra., Usman ra., dan Ali ra., Ahmadiyah mempercayainya sebagai Khalifah yang benar, keempat-empatnya benar, suci dan memiliki kebajikan. Keempat mereka adalah al-Khulafa al-Rasyidiin al-Mahdiyyin.

Sikap Terhadap Para ‘Alim Rabbani

Mengenai para ‘Ulama Rabbani, para imam, terutama yang berjasa kepada Islam, pendirian Ahmadiyah ialah menghormati mereka. Khusus para imam dan ‘ulama rabbani baik dari kalangan Ahlus-Sunnah wal Jamaah maupun dari kalangan Syi’ah, bagi Ahmadiyah menghormati mereka adalah satu syi’ar yang diutamakan.

Masalah Fiqh

Masalah fiqh, pendirian kalangan Sunni berbeda dengan kalangan Syi’ah sampai kepada masalah penting seperti masalah halal-haram, keduanya mempunyai pandangan yang berbeda. Dalam pegangan dasar urusan ibadah, antara keduanya juga terdapat perbedaan yang menonjol. Dalam urusan shalat, adzan, wudhu, antara kedua kalangan ini terdapat perbedaan yang cukup menyolok.
Dalam masalah fiqh, Ahmadiyah berpendirian, harus mengutamakan Al-quran dahulu diatas segalanya, karena ia sebagai landasan dasar, sesudah itu sunnah Rasulullah SAW., kemudian hadits Nabi. Sesudah itu semuanya barulah para fuqaha meletakan dasar ijtihad dan ijma’ yang bertitik tolak dari ketiga sumber tersebut diatas.

Ijtihad

Dalam hal urusan Juziyyat, Ahmadiyah mengamalkan fiqh Imam Hanafi. Akan tetapi masalah-masalah baru yang timbul pada suatu kondisi atau keadaan, maka dengan dasar petunjuk-petunjuk Pendiri Jemaat Ahmadiyah, dimanfaatkan sebaik-baiknya hukum fiqh dari semua imam dan semua golongan dalam Islam, guna memecahkan persoalan, mengadakan ijtihad. Dengan demikian Ahmadiyah menganggap pintu ijtihad itu tetap terbuka bagi ‘alim-‘ulama Ahmadiyah.[59]

Metodologi Penafsiran Al-Quran

Tafsir Al-quran. Berkenaan dengan cara penafsiran Al-Quran, Ahmadiyah mempunyai pendirian sebagai berikut:

Pertama: Memberikan tafsir dengan berpedoman kepada Al-Quran sendiri. Dengan pengertian petunjuk : “Al-Quran yafassiru nafsahu”, yaitu suatu bagian Al-Quran menafsirkan bagian lainnya.

Kedua: Tafsir itu berdasarkan pedoman Sunnah Rasulullah SAW,. Imam Syafi’I ra., berkata: “Segala yang dihukumkan oleh Rasulullah SAW., itu semuanya adalah dari apa yang difahami beliau dari Al-Quran”. Singkatnya, Imam Syafi’i dalam Ar-Risalah, menyatakan, sunnah itu menjadi keterangan yang menjelaskan ayat-ayat yang mujmal, maka sunnah menjadi bayan takhsis, keterangan yang menentukan sesuatu dari yang umum.

Ketiga: Berpedoman kepada Hadits-hadits Nabi SAW., yang banyak membantu memahami makna dan tujuan tidap ayat Al-Quran. Dengan sendirinya, hadits nabi SAW., itu tidak bertentangan dengan Al-Quran dan tidak pula mungkin bertentangan dengan sunnah atau amal perbuatan Rasulullah SAW,.

Keempat: Berpedoman kepada lughah, yaitu bahasa Arab, bahasa Kitab Suci Al-Quran sendiri. Untuk itu, orang Ahmadiyah sedapatnya mempelajari masalah ini sampai kepada akar-akar bahasa, terutama manakala terbentur pada soal yang pelik, yang memerlukan ketelitian dan kejelian.

Kelima: Berpedoman kepada akal, salah satu nikmat Allah yang penting dan diperlukan untuk menghadapi segala masalah. Akal adalah anugrah Allah yang di dalam Al-Quran sendiri diakui bahkan dianjurkan untuk dimanfaatkan. Allah SWT, berulangkali menyebutkan dalam Al-Quran, seperti afalaa ta’qilun, afalaa tatafakaruun, apakah kamu tidak mempergunakan akal dan fikiran?[60]
Dalam tafsir Ahmadiyah tidak terdapat kisah-kisah kosong Israiliyat, atau dongeng-dongeng yang bertentangan dengan kesucian dan kemurnian Al-Quran sendiri, tidak akan di dapat hal-hal yang menyinggung kehormatan para nabi, para malaikat, apalagi kesucian dan keluhuran Allah SWT., dan Rasul-rasul-Nya.

Bahwa tafsir Ahmadiyah dapat diterima baik oleh para ahli, sarjana dan cerdik pandai muslim, dapat dibuktikan dengan dipergunakannya tafsir Ahmadiyah itu sebagai referensi oleh para sarjana dan ulama yang menafsirkan Al-Quran dalam panitia penterjemah Al-Quran yang diterbitkan oleh Depatemen Agama R.I.

Dalam pengantar terjemah tafsir Al-Quran Departemen Agama RI yang diterbitkan Pemerintah Arab Saudi, dijelaskan bagaimana peran Ahmadiyah dalam menterjemahkan Al-Quran dan Tafsir dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Yoruba di Afrika.
Baik pula dikemukakan disini, Ahmadiyah menganut suatu kepercayaan pokok sbb: segala kepercayaan yang bertentangan dengan ajaran tauhid, atau kepercayaan yang dapat menyentuh kehormatan dan nama baik Rasulullah SAW., oleh Ahmadiyah tidak diterima, dan tidak mungkin di anut. Sebabnya, ialah: dasar aqidah Ahmadiyah adalah Tauhid Ilahi yang murni dan keagungan serta kemuliaan Rasulullah SAW,.

Semua orang Islam sepakat, Rasulullah SAW., adalah Khaataman-Nabiyyiin, karena Allah menamakan beliau demikian. Namun mengenai makna dan pengertian Khaataman-Nabiyyiin itu, tafsirnya terdapat perbedaan tingkatan pemahaman antara Ahmadiyah dan umat Islam lain umumnya.
Ahmadiyah memandang Rasulullah SAW., sebagai Khaataman-Nabiyyiin dengan kedudukan yang paling luhur dan afdhal dalam segala hal.
Ahmadiyah tidak melihat suatu kelebihan dalam arti penutup atau penghabisan dari segi masa dan waktu.
Rasulullah SAW., di pandang oleh Ahmadiyah sebagai Khaataman-Nabiyyiin dengan pengertian martabat yang paling luhur yang beliau miliki itu, melebihi siapa pun juga, di bumi maupun di langit.

Kesan Tokoh-Tokoh Dunia Terhdap Ahmadiyah

Bung Karno :
“Maka oleh karena itulah, walaupun ada beberapa fasal dari Ahmadiyah tidak saya setujui dan malahan saya tolak,….., tokh saya merasa wajib berterima kasih atas faedah-faedah dan penerangan-penerangan yang telah saya dapatkan dari mereka punya tulisan-tulisan yang rasional, moderen, broad minded dan logis itu”.[61]

Muhammad Akram M.A. :
“Pengaruh Jemaat Ahmadiyah memang jauh sekali. Ini disebabkan kepercayaan Pendiri Jemaat Ahmadiyah dan pengikutnya, bahwa jihad dengan pedang bukanlah masanya sekarang. Yang diperlukan ialah jihad dengan pena, jihad dengan lisan dan tulisan. Pendirian mereka ini tidak sejalan dengan pendirian umat Islam lainnya, tetapi hakikat yang nyata ialah, kemampuan jihad dengan pedang tidak ada pada Ahmadiyah dan tidak pula terdapat pada umat Islam lainnya. Karena kepercayaan umum umat Islam terhadap jihad dengan pedang itu, maka akhirnya jihad ‘am dan dakwah pun tidak dilakukan. Orang Ahmadiyah yang mengakui jihad dengan dakwah itu merekalah yang melakukannya dengan menganggapnya sebagai kewajiban. Di sini mereka berhasil dan sukses”.[62]

Dr. H.A.Karim Amarulah, Ayahanda Buya Hamka :
“Diatas nama Islam dan kaum Muslimin se-Dunia kita memuji sungguh kepada pergerakannya Ghulam Ahmad tentang mereka banyak menarik kaum Nasrani (Kristen) masuk agama Islam di tanah Hindustan dan lain-lain tempat…..”.[63]

Prof. Dr. Buya Hamka :
“Adapun kaum Ahmadi (Ahmadiyah), dan usahanya melebarkan Islam di benua Eropa dan Amerika, dengan dasar ajaran mereka, faedahnya bagi Islam ada juga. Mereka menafsirkan Qur’an ke dalam bahasa-bahasa yang hidup di Eropa. Padahal zaman 100 tahun yang lalu masih merata kepercayaan tidak boleh menafsirkan Qur’an. Penafsiran Quran dari kedua golongan Ahmadiyah itu membangkitkan minat bagi golongan yang mengingini kebangkitan Islam ajaran Muhammad kembali buat memperdalam selidiknya tentang Islam…..”.[64]

Footnote
[1] Makalah ini disampaikan dalam diskusi ”Membincang Akidah Ahmadiyah” yang di selenggarakan Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang, Jumat 10 Desember 2010, di Aula Kantor Balitbang Depag, Semarang.
[2] Penulis adalah Muhabligh Ahmadiyah Wilayah Jateng-Pantura, tinggal di Semarang (HP.081385946560 dan 08152546747).
[3] Hayatu Ahmad, 1960 : 4
[4] Ibid : 15
[5] Ahmad, Bahtera Nuh : 22
[6] Sinar Islam, April 1981:25
[7] Ibid : 25
[8] Lihat, Dard, Life of Ahmad, 1960 : 9
[9] Ahmad, Tazkirah, tt. : 635; Dard, 1948 : 445
[10] Ahmad, Taqrir wajibul I’lan, 1891
[11] Ahmad, Izalah Auham, 1891 : 137
[12] Ahmad, Taudhih Marram, 1891 : 23
[13] Ahmad, Kistii Nuh, 1902 : 15
[14] Ahmad, Paigham-i-Sulh, 1908 : 30
[15] Ahmad, Aina Kamat-i-Islam, 1893 : 52
[16] Ahmad, Tuhfatu Baghdad : 23
[17] Ahmad, Bahtera Nuh : 24
[18]Ahmad, Al-Wasiat : 24-27
[19] Ahmad, Filsafat Ajaran Islam : 68-69
[20] Ahmad, Al-Wasiat, Jemaat Ahmadiyah Indonesia 2006 : 24
[21]Ahmad, Anjam-e-Atham, catatan kaki, hal. 27-28, sekarang dalam : Mahzarnamah, Penjelasan/Pembuktian Akidah Jemaat Ahmadiyah, Islam International Publikacations 2002 : 83-84.
[22] Ahmad, Ainah Kamalaat-e-Islam : 594-596, sekarang dalam: Mahzarnamah, Penjelasan/Pembuktian Akidah Jemaat Ahmadiyah, Islam International Publikacations 2002 : 72-73
[23] Ahmad, Ainah Kamalaat-e-Islam : 160-161, sekarang dalam: Mahzarnamah, Penjelasan/Pembuktian Akidah Jemaat Ahmadiyah, Islam International Publikacations 2002 : 73
[24] Ahmad, Dhiyaaul Haq : 4, sekarang dalam: Mahzarnamah, Penjelasan/Pembuktian Akidah Jemaat Ahmadiyah, Islam International Publikacations 2002 : 73
[25] Ahmad, Tohfah Golerwiyah : 238, sekarang dalam: Mahzarnamah, Penjelasan/Pembuktian Akidah Jemaat Ahmadiyah, Islam International Publikacations 2002 : 76
[26] Lihat, Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, Al-Quran Dengan Terjemah dan Tafsir Singkat, Islam International Publication Limited 2002:1459, Catatan kaki No. 2359
[27]Ahmad, Anjam-e-Atham, catatan kaki, hal. 27-28, sekarang dalam : Mahzarnamah, Penjelasan/Pembuktian Akidah Jemaat Ahmadiyah, Islam International Publikacations 2002 : 83-84.
[28] Penjelasan selengkapnya tentang dua macam nabi ini – nabi lama atau nabi baru, dapat dibaca dalam Ek Galati Ka Izalah, hal. 4-6, dan dalam Mahzarnamah, Penjelasan/Pembuktian Akidah Jemaat Ahmadiyah, Islam International Publikacations 2002 : 85-89
[29] Lihat, Al-Quran Surah Ali Imran, 3:144, Al-Maidah, 5:116-117, Kanjul ‘Umal, Alaudin Alhindi, Muassasatur Risalah, Beirut, 1989, Jilid XI : 479
[30] Di dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW, bersabda :ﻜﻴﻒﺍﻨﺘﻢﺍﺬﺍﻨﺰﻞﺍﺒﻦﻤﺮﻴﻢﻔﻴﻜﻢﻮﺍﻤﺎﻤﻜﻢﻤﻨﻜﻢ Hadits ini memberi petunjuk, Nabi Isa as yang dijanjikan akan datang oleh Rasulullah SAW., bukan nabi Isa yang dahulu, nabinya Bani Israel, melainkan berasal dari lingkungan umat Islam, akan jadi imam umat Islam dan dari antara umat Islam. Ini berarti, karena ia memiliki spirit Isa ibnu Maryam, atau karena ia menjadi buruz (bayangan) Isa ibnu Maryam, sehingga ia bergelar Isa ibnu Maryam.
[31] Ahmad, Bahtera Nuh : 24
[32] Ahmad, Bahtera Nuh : 25
[33] Ahmad, Bahtera Nuh : 22
[34] Ahmad, Bahtera Nuh : 24
[35] Ahmad, Al-Wasiat, Jemaat Ahmadiyah Indonesia 2006, hal. 24-25
[36] Ahmad, Tajalliyat-i Ilahiyah, 1906, hal. 20
[37] Ahmad, Ek Ghalti ka Izala, 1901, hal. 3
[38] Ahmad, Tajalliyat-i-Ilahiyah, 1906, hal. 9
[39] Mahzarnamah, Penjelasan/Pembuktian Akidah Jemaat Ahmadiyah, Islam International Publikacations 2002, hal. 86
[40] Mahzarnamah, Penjelasan/Pembuktian Akidah Jemaat Ahmadiyah, Islam International Publikacations 2002, hal. 86
[41] Ahmad, Ek Galati Ka Izalah : 6, Mahzarnamah Penjelasan/Pembuktian Akidah Jemaat Ahmadiyah, Islam International Publikacations 2002 : 90
[42] Nabi Tasyri’ artinya Nabi yang membawa syariat, dan Nabi Ghairi Tasyri’ artinya Nabi yang tidak membawa syariat.
[43] Mustaqil artinya berdiri sendiri, menjadi nabi bukan karena mengikut nabi sebelumnya, melainkan karena quad qudsiyah – daya pensucian yang yang dimiliki dirinya, sehingga Allah menganugrahi pangkat Nabi. Sedangkan Ghairi Mustaqil ialah Nabi yang tidak berdiri, menjadi nabi semata-mata karena ketaatan kepada seorang nabi, dan karena mengikut nabi.
[44] Lihat, Al-Ahzab, 33:40
[45] Lihat, Al-Maidah, 5:3
[46] Lihat, Ahmad, Al-Wasiat, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2006 : 26
[47] Ahmad, Akhbar-i-Am, 26 Mei 1908 : 7; Tabligh-i-Risalat, t.t. : 132-134
[48] Ahmad, Anjam-e-Atham, catatan kaki, hal. 27-28, sekarang dalam Mahzarnamah : 84
[49] Ahmad, Anjam-e-Atham, catatan kaki, hal. 27-28, sekarang dalam Mahzarnamah : 84
[50] Ahmad, Ek Ghalati Ka Izalah, sekarang dalam Mazharnamah : 87
[51] Ahmad, Anjam-e-Atham, catatan kaki, hal. 27-28, sekarang dalam Mahzarnamah : 83-84
[52] Ahmad, Ek Ghalati Ka Izalah, hal 6-7, sekarang dalam Mahzarnamah :84-85
[53] Ahmad, Tajalliyat-e-Ilahiyyah, hal. 24-25, sekarang dalam Mazharnamah : 94
[54] Lihat, Ahkam al Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Diantama-LTN-NU, Cet. Ketiga, Pebruari 2007: 47-48
[55] Ibid:48
[56] Ibid:49
[57] Lihat, Ali Imran, 3:179, 72:26-27
[58] Ahmad, Bahtera Nuh, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1997:38
[59] Al-Busyra, Juni 1970:5
[60] Lihat, Yunus, 10:16; Al-An’am, 6:50
[61] Di Bawah Bendera Revolusi : 346; Sinar Islam, Januari 1984 : 57
[62] Maud-i-Kauthar, 193-194; Ibid : 57
[63] Al Qaulus-Shahih : 149; Ibid : 57
[64] Pelajaran Agama Islam, Cet. I : 199; Ibid :57)

Oleh:
H. Muhammad Syaeful ‘Uyun

0 komentar: