Custom Search

Rabu, 20 Januari 2016

Orang Timur Bicara Bom Sarinah

PERISTIWA bom Sarinah membuat setiap orang di negeri ini berduka bahkan takut. Yah, takut bagaimana nasib negeri ini kedepannya. Kami yang berada di Timur Indonesia saja gempar mendengar bom Sarinah, padahal listrik belum masuk di kampung kami. Itulah kami, selalu peduli dengan keadaan negeri ini, meski kami harus bersabar menunggu negeri ini peduli kami. Tidak apa-apa, selama esok masih ada kepastian dapur bisa ngebul, kami tak perlu menuntut apa-apa tentang listrik. Wong, ongkosnya mahal kalau ke Sarinah, eh maaf, ke Jakarta maksudnya.


Kami belum paham tujuan mereka melakukan bom Sarinah itu apa? Maklum lah, kami orang Timur hanya tahu mengebom ikan di laut. Yah, semata-mata untuk menjaga dapur terus ngebul. Memang salah, tapi setidaknya kami tak membunuh manusia. Kalau sial, paling diri kami sendiri yang terbunuh. Mungkin, mereka yang melakukan bom Sarinah bernasib yang sama dengan kami. Yah, menjaga dapurnya tetap ngebul. Sayangnya, manusia yang jadi target sasaran. Bagus kalau manusia yang kena bom Sarinah itu bisa ditimbang ke “pengumpul”. Yah, minimal di atas harga ikan Tuna lah.

Kami minta maaf kepada pembaca, kalau prolog saya terkesan menghina para mujahid bom Sarinah yang mati syahid di medan “jihad fi sabilillah”. Kami tak bermaksud demikian. Kami hanya orang Timur yang minim sekali pengetahuan agama kami. Kami biasa hidup berdampingan dengan orang kafir. Saling menjaga, saling menghormati setiap perbedaan mereka yang kafir. Itulah yang turun-temurun diwariskan kepada kami. Ikatan adat di “kami punya kampung” itu mungkin senilai dengan ikatan agama.

Mungkin inilah kesalahan kami yang tidak mendalami ilmu agama. Sehingga, kami sangat sulit meluapkan kebencian terhadap mereka yang berbeda kepada kami. Jangankan beda agama, beda gerakan dalam shalat pun kami susah untuk mengungkapkannya. Sungguh berdosa kami bukan? Terhadap orang kafir kami sangat menghormati, malah kami suka menjaga gereja mereka saat natal. Sungguh ini kefasikan yang nyata bukan? Ya Rabb, tuntunlah kami kepada jalan agama-Mu, bukan jalan nenek-moyang kami yang telah membutakan kami dari Nur Kebenaran Engkau.

Kami tidak tahu, apakah faktor minusnya pemahaman agama kami yang membuat kami terbelakang? Orang-orang kami tidak bisa bersaing dalam segala hal dengan mereka yang di Jawa sana. Pendidikan, perekonomian, bahkan kerusuhan. Kami sudah bosan dengan kedamaian kampung kami yang begitu-begitu saja sejak dulu. Kami mau buat semacam kerusuhan di “kami punya kampung”, siapa tahu bisa di dengar oleh mereka yang punya banyak uang. Bukankah cuma uang yang bisa menyulap segala hal?

Kami memimpikan adanya gedung-gedung bertingkat. Karena kami belum bisa membayangkan rasanya naik lift itu seperti apa? Pasti itu suatu hal yang luar biasa bukan? Bisa duduk di tempat ber-AC. Kerja sambil duduk, sambil memainkan suatu barang yang kami masih belum kebayang seperti apa, cuma tahu namanya, facebook. Kami sudah bosan melaut, berkebun atau mencari kutu karena tidak ada kerjaan. Kami mau kerja di tempat ber-AC, duduk-duduk sambil bermain facebook. Lalu terima uang sebanyak-banyaknya. Punya isteri cantik, juga punya teman-teman tapi mesra yang cantik-cantik.

Kami harus buat kerusuhan dulu kalau begitu. Tapi bagaimana caranya? Nilai luhur nenek moyang kami membuat kami tidak bisa bergerak kemana-mana. Kami harus kabur dari kampung halaman kami. Kami harus mendalami ilmu agama. Kami harus belajar bagaimana caranya meluapkan kebencian. Kami juga harus belajar bagaimana caranya membunuh mereka yang kafir. Semua itu kami bisa dapat kalau kami keluar dari kampung. Tapi bagaimana caranya kami bisa kabur? Uang pun hanya cukup untuk kasih kenyang kami punya perut. Malahan, utang di kios bibi Turah juga belum lunas.

Katanya, kami bisa mendapatkan semua pelajaran itu di Petamburan, Jakarta. Ada kelompok yang sudah malang melintang di dunia “pengrusuhan”. Kami harus ke sana pokoknya. Pasti banyak ilmu yang bisa kami timba di sana. Semoga Allah memberikan kemudahan untuk kami menuntut ilmu di Petamburan. Semoga bibi Turah dibukakan hatinya untuk membelikan kami tiket ke sana.

Tapi kami masih ragu. Apakah setelah kami kembali dari menuntut ilmu di Petamburan kami bisa membuat kerusuhan? Kedamaian di kampung kami sudah terlalu masif dan terstruktur. Ocehan seorang anak ingusan seperti kami ini apa bisa didengar oleh para tetua adat yang aroma tanah sudah tercium kuat itu? Setinggi apapun ilmu agama kami, tetap saja kearifan leluhur yang akan dijunjung tinggi, meskipun kami meninggikan celana kami di atas mata kaki. Jenggot lebat pun tak akan membuat kami dihormati dan didengar.

Jadi, lebih baik kami mengurungkan niat untuk keluar kampung, untuk menuntut ilmu agama. Lebih baik kami terus mengebom ikan di laut sebelum ibu Menteri tahu, daripada melakukan bom Sarinah. Kalau ibu Menteri tahu, bahkan sampai di liput media, kepolisian turun, tentara turun, mungkin saat itu kami sudah tidak bisa lagi membuat dapur kami ngebul. Biarlah kami terus hidup dalam kedamaian. Bukankah kedamaian merupakan topik yang tak menarik untuk ditayangkan di televisi?

Mohon maaf kepada para muhajid bom Sarinah yang telah gugur di medan jihad. Kami tak kuasa untuk membenci perbedaan di antara kami. Kami sulit untuk memusuhi orang-orang kafir di sekeliling kami, wong kami masih bersaudara. Juga kami mustahil untuk membunuhi mereka yang kafir atas nama jihad. Mungkin atas nama tanah bisa.

Maafkan kelemahan kami ini.

Muhammad Nurdin-NTT

Sumber

0 komentar: