Selain Agustus yang merupakan bulan keramat bagi Bangsa Indonesia. Bulan Juni tidak kalah keramatnya. Ada 3 moment historis penting di bulan ini yang ketiganya berkaitan dengan satu sosok, Yaitu Soekarno atau lebih dikenal Bung Karno (BK). Ketiga moment ini seakan-akan melukiskan siklus hidup BK. Waktu kelahirannya ketika ufuk fajar 6 Juni mulai terbit menandakan masa pembentukan pribadinya sebagai pemimpin. Satu Juni, lahirnya Pancasila dimaknai sebagai puncak keemasan pemikirannya. Dan periode terakhir, masa penurunan yang diakhiri pada 21 Juni, wafatnya tokoh besar ini. Maka tepatlah jika bulan ini diperingati sebagai bulannya BK.
Hingga hari ini membicarakan Bung Karno selalu menarik. Satu yang menarik adalah hubungan Bung Karno dengan Islam. Tulisan, pidato Bung Karno tentang tema ke-Islaman terserak di mana-mana. Semenjak mudanya, memang Islam menjadi salah satu concern BK. Jika kita menelaah tulisannya, Bung Karno mencoba “mendobrak” pemahaman jumud bin kolot yang masih menggayuti umat Islam Indonesia. Artikelnya, “Memudakan Pengertian Islam, “Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara,” dan “Islam Sontoloyo” memerahkan kuping ulama yang masih beku pemikirannya. Yang lebih menarik lagi, dalam tulisan-tulisan BK tentang Dunia Islam, di sana terselip pembahasan mengenai Ahmadiyah. Sebuah organisasi yang sudah hadir di tanah air sejak tahun 20-an. Sebuah organisasi yang belakangan sedang dimarjinalkan di Republik ini.
Pendapat Bung Karno mengenai Ahmadiyah dalam tulisan-tulisannya cenderung memuji pergerakan yang lahir di Hindustan ini. Ketika di buang ke Endeh, BK menyatakan bahwa pemahaman pergerakan ini merupakan pemahaman yang modern, rasional, dan broadminded. Beberapa segi dari Ahmadiyah tidak disetujui BK, tetapi secara keseluruhan Bung Karno menghargai usaha-usaha Ahmadiyah dalam mengeluarkan Islam dari kejumudan. Misalnya dalam “Memudakan Pengertian Islam” BK menulis, “Ahmadiyah adalah besar pengaruhnya, juga di luar India. Ia bercabang di mana-mana Ia menyebarkan banyak perpustakaannya ke mana-mana. Sampai di Eropa dan Amerika orang baca ia punya buku-buku, sampai di sana Ia sebarkan Ia punya propagandis… Buat jasa ini, cacat-cacatnya saya tidak bicarakan di sini, Ia pantas menerima salut penghormatan dan pantas menerima terima kasih. Salut penghormatan dan terima kasih itu, marilah kita ucapkan kepadanya disini dengan cara yang tulus dan ikhlas (Di Bawah Bendera Revolusi, hal 389).
Penghargaan Bung Karno kepada Ahmadiyah berlanjut dalam hubungan pribadinya dengan tokoh-tokoh Ahmadiyah. Salah satunya Sayyid Shah Muhammad Al Jailani, seorang Pakistan yang menjabat sebagai Amir Mubaligh Jemaat Ahmadiyah Indonesia di awal kemerdekaan. Di saat negara yang baru lahir ini membutuhkan pengakuan dunia internasional atas kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan, tokoh ini turut berperan aktif. Ia banyak terlibat dalam kegiatan sosial di masa Revolusi, dan mulai dikenal BK sejak Maret 1947. Sejak itu, Ia menjadi salah seorang yang dipercaya Kepala Negara. Hal ini menyebabkan Ia mempunyai hubungan erat dengan tokoh-tokoh kemerdekaan. Atas jasa-jasanya Ia dihadiahi kewarganegaraan Indonesia (Sinar Islam, 1977).
Dukungan atas kemerdekaan Indonesia kemudian lebih dipertegas oleh Imam Jema’at Ahmadiyah Internasional, Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad. Ia menyerukan kepada pemimpin negara Islam di seluruh dunia agar serentak mengakui berdirinya pemerintah Indonesia. Pada Desember 1946, Ia juga menginstruksikan agar seluruh anggota Ahmadiyah di seantero dunia melakukan puasa Senin Kamis dan memohon do’a kepada Allah SWT guna menolong bangsa Indonesia dalam perjoangannya. Dukungan ini tercatat dalam Surat Kabar Kedaulatan Rakjat, edisi Selasa Legi, 10/12/1946.
Fakta-fakta ini terekam dalam literatur sejarah kita. Namun, pihak Ahmadiyah sendiri mempunyai catatan historis mengenai hubungan mereka dengan BK. Dari catatan sejarah, kedatangan utusan Ahmadiyah pertama kali ke tanah air adalah pada 1924, yakni dengan kedatangan mubaligh Ahmadiyah Lahore, Mirza Wali Beg. Satu tahun kemudian pada 1925, mubaligh pertama Ahmadiyah Qadian, Maulana Rahmat Ali H.A.O.T tiba di Tapak Tuan, Aceh. Dari Aceh, kemudian ke Padang, dan sampailah Ia di Batavia. Di Betawi ini, Rahmat Ali tinggal di daerah Petojo Oedik-sekarang Jl Balikpapan I/10- Bersama anggota Ahmadiyah lainnya, Ia mendirikan sebuah mesjid yang diberi nama Mesjid Hidayat, namun sejak dulu dikenal sebagai mesjid Gang Gerobak. Disebut mesjid Gang Gerobak karena di masa itu gang di mana mesjid ini berada selalu penuh dengan berbagai gerobak.
Pada masa perjuangan beberapa tokoh seperti Bung Karno, Syahrir, bahkan Tan Malaka pernah mendatangi Rahmat Ali untuk mendiskusikan berbagai hal. Juga di masa lalu, Haji Agus Salim sering merekomendasikan orang-orang yang ingin mendalami Islam agar datang ke mesjid ini (Suryawan,2005:187).
Lebih lanjut dalam catatan yang dimiliki Ahmadiyah menyebutkan, BK sering mendatangi Rahmat Ali. BK berguru dan berdiskusi mengenai banyak hal, baik agama, politik maupun budaya. Sekali waktu –menurut penuturan seorang Ahmadiyah- BK merencanakan mendirikan sebuah partai nasional. Dalam diskusi itu, BK meminta pendapat Maulana Rahmat Ali tentang lambang partainya yang memakai gambar Kepala Banteng. Waktu itu sang Mubaligh berkata, “Mengapa harus binatang lambangnya, kenapa tidak mengambil lambang bintang umpamanya atau benda langit lainnya” kata Rahmat Ali, “Kalau Tuan mengambil lambang ini, jangan-jangan Tuan akan diseruduk oleh binatang ini.” (Suara Ansharullah, 2007:15). Itulah catatan yang terekam dalam literatur-literatur Ahmadiyah dalam hubungannya dengan Bung Karno, Founding Father Bangsa ini. Meski sekelumit,tidak lantas dilupakan atau malah dihapuskan, semoga.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar