Custom Search

Kamis, 10 Oktober 2013

Ahmadiyah Versi MUI vs Ahmadiyah Versi Ahmadiyah

Harus diakui, di Indonesia, ada dua versi Ahmadiyah, yaitu Ahmadiyah versi MUI dan Ahmadiyah versi Ahmadiyah.

Ahmadiyah yang berkembang dalam wacana publik, 99%-nya adalah Ahmadiyah versi MUI, sisanya 1% adalah Ahmadiyah versi Ahmadiyah.

Ahmadiyah versi MUI; tidak meyakini Nabi Muhammad sebagai Nabi yang terakhir (khaataman-Nabiyyin), Kitab Sucinya bukan Al-Quran tapi Tadzkirah, Syahadatnya bukan dua kalimah tapi tiga kalimah (KH Amidhan dalam dilaog di Metro TV), naik hajinya bukan ke Mekkah tapi ke Qadian, dll.


Suatu kali dalam suatu dialog di Makassar dan Mataram, ada pengurus MUI menyatakan, kitab suci Ahmadiyah adalah Tadzkirah, “saya punya kitabnya”, katanya.
Saya tanya sama dia,” Bapak yakin Tadzkirah kitab suci Ahmadiyah?”, dia jawab ”yakin”.
“Yakin pak, Tadzkirah kitab suci Ahmadiyah?”, saya mengulangi pertanyaan, “yakin”, jawabanya.
“Dengar bapak-bapak”, kata saya kepada forum, “beliau pengurus MUI, bukan Ahmadiyah, yakin, percaya, Tadzkirah adalah kitab suci Ahmadiyah, dan mempropagandakanya kepada publik Tadzkirah adalah kitab suci Ahmadiyah. Saya orang Ahmadiyah, saya tidak percaya Tadzkirah kitab suci Ahmadiyah. Jika Ahmadiyah seperti yang diisukan MUI, saya tidak akan 30 tahun di Ahmadiyah, dari dulu saya keluar dari Ahmadiyah”, kata saya kepada forum.

Sepontan raut muka mereka merah padam, mereka tertunduk malu, mereka tidak mengira, saya akan berkata seperti itu.

Saya sudah lama memang mencoba dan berusaha memisahkan antara Ahmadiyah versi MUI, dan Ahmadiyah versi Ahmadiyah. Hemat saya, PR seluruh warga Ahmadi tanah air saat ini, memisahkan antara Ahmadiyah versi MUI dan Ahmadiyah versi Ahmadiy

Pengalaman saya di Makassar (7 tahun) dan di Lombok (3 tahun), menjelaskan Ahmadiyah versi Ahmadiyah, opini para AGH (Angrong Guruta) di Makassar, dan para TGH (Tuan Guru Haji) di Lombok, umumnya mengatakan, jika Ahmadiyah seperti ini, maka tidak ada masalah.

Memang, tidak ada masalah, kata saya kepada mereka, yang bermasalah itu adalah Ahmadiyah versi MUI.
Sampai hari ini, saya termasuk orang yang beranggapan, SKB tiga menteri tentang Ahmadiyah salah alamat. SKB itu harusnya ditujukan kepada Ahmadiyah versi MUI, bukan kepada Ahmadiyah versi Ahmadiyah
Secara pribadi, hingga saat ini, saya termasuk orang yang menolak SKB tiga menteri itu. Alasannya jelas, karena Ahmadiyah yang saya fahami, (Ahmadiyah versi Ahmadiyah), tidak seperti yang diisukan dan berkembang dalam opini publik, yang menjadi dasar SKB itu terbit, selama ini.
Hanya karena Pengurus Besar menerima SKB itu, saya pun, sebagai Jamaah, menghormati keputusan Pengurus Besar menerima SKB itu. Idealnya, Jemaat menolak SKB itu dan menggugat langsung Pemerintah
Kapan kita diam saja, dengan alasan cooling down, maka opini publik akan makin melekat, Ahmadiyah bukan Islam, sesat, dan menyesatkan, seperti yang di opinikan dan dipropagandakan MUI. Padahal, yang meyakini dan mempropagandakan Nabi Muhammad bukan Khataman-Nabiyyin adalah MUI, yang meyakini dan mempropagandakan Tadzkirah kitab suci adalah MUI, yang meyakini dan mempropagandakan syahadat tiga kalimah adalah MUI, dan yang menyakini dan mempropagandakan naik haji ke Qadian, bukan ke Mekklah, juga adalah MUI.
Puasa mengajari kita, yang hak itu hak, dan yang bathil itu adalah bathil.

Sumber

0 komentar: