Custom Search

Kamis, 10 Oktober 2013

Apakah Ahmadiyah Membajak Al-Quran?

Amin Jamaluddin, seorang aktifis Islam radikal dari LPPI menuduh bahwa Ahmadiyah telah membajak Al-Qur’an dan mengacak-acaknya. Bagi seorang Muslim yang beriman kepada Al-Qur’an, khusunya Surah Al-Hijr ayat 9 maka sudah semestinya tuduhan semacam itu tidak harus dikemukakan, apalagi dipergunakan untuk membakar emosi kaum Muslimin agar terhasut dan tertipu sehingga mau menyerang Ahmadiyah yang nota bene sama-sama Muslim. Apa mungkin Ahmadiyah atau siapapun dan dari kelompok apapun mampu membajak dan mengacak-acak Al-Qur’an? Bukankah Allah Ta’ala, telah berjanji:


Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benarbenar memeliharanya”.?Bukankah ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al-Quran selama-lamanya? Penulis berharap, semoga Amin Jamaluddin dan teman-teman tidak menyamakan derajat Al-Qur’an dengan buku-buku ciptaan manusia yang sudah biasa dapat dan mudah dibajak hak ciptanya. Seandainya Amin Jamaluddin berkeyakinan bahwa Al-Qur’an bisa dibajak oleh Ahmadiyah, naudzubillah mungkin saja MUI bisa mengeluarkan fatwa sesat juga terhadapnya karenamengingkari Surah Al-Hijr ayat 9 di atas
Mungkin Hanya Tahu “Membajak” dan Tidak Tahu “Iqtibas”.

Istilah membajak Al-Qur’an yang digembar-gemborkan oleh Amin Jamaluddin cs sama sekali tidak dikenal dalam islamologi baik dalam ‘ulūmul Qur’an, ilmu kalam maupun ilmu-ilmu lainnya. Mungkin karena kebencian yang sangat terhadap Ahmadiyah dan emosi yang tidak terkendali itulah ia dengan semangatnya mengeluarkan istilah yang sangat asing di dunia ilmu itu.

Amin melemparkan tuduhan pembajakan Al-Qur’an terhadap Ahmadiyah dengan beralasan bahwa Mirza Ghulam Ahmad as dalam wahyu-wahyu yang beliau terima ada yang sama atau mirip dengan beberapa ayat atau kalimat yang ada dalam Al-Qur’an. Bagi orang yang berilmu, kenyatan semacam itu tidak bisa disebut “pembajakan Al-Qur’an”, karena hal-hal semacam itu telah banyak sekali dilakukan oleh Yang Mulia, Nabi Muhammad Saw dalam hadits-hadits beliau. Demikian juga halnya para Shahabat ra., Imam Mujtahid, ulama-ulama besar sufi (seperti Syaikh Abdul Qadir Jailani) dan para pujangga Muslim kenamaan.

Adanya beberapa ayat atau kata yang mirip atau sama dengan Al-Qur’an dalam haditshadits Nabi Saw, ucapaan para Shahabat ra, dan ulama-ulama shalafush shalih dengan tanpa menyebutkan bahwa ucapan-ucapan yang mereka sampaikan baik secara lisan maupun tulisan itu diambil dari Al-Qur’an maka itu dinamakan IQTIBAS, bukan PEMBAJAKAN AL-QUR’AN.

Untuk lebih jelasnya, baiklah pembaca saya ajak sejenak untuk mengetahui lebih dekat tentang iqtibas dimaksud. Iqtibas adalah salah satu materi bahasan dari Ilmu Balaghah, khusunya pada Ilmu Badi.
Dalam Ilmu Badi, iqtibas didefinisikan sebagai berikut: An yudhammina almutakallimu mantsūrahu au manzhūmahu syai’an minal Qur’ani au al-hadiitsi ‘ala wajhi lā yus’iru biannahu minhumā . Artinya: “Pembicara menyimpan prosa atau puisinya dengan sesuatu dari Al-Qur’an atau Hadits dengan cara yang tidak memberikan isyarat bahwa sesuatu itu berasal dari keduanya.” Qaidah Ilmu Badi membolehkan mutakallim (pembicara) merubah sedikit pada kata yang diambil dari Al-Qur’an atau Hadits, yaitu karena untuk penyesuaian wazan atau sebab lainnya.

Contoh iqtibas yang dilakukan oleh Nabi Saw: Allahumma ghāratin-nujū mu wa hadaatil ‘uyūnu wa anta al-hayyul qayyū mu lā ta’khuduka sinatun wa lā naum yā hayyu yā qayyūmu ahdi’ lailiy wa anmi ‘ainiy.”Ya Allah, bintang-bintang telah lenyap dan mata telah tenang sedangkan Engkau Tuhan Yang Maha Hidup kekal dan selalu mengurusi makhluk-Nya. Engkau tidak dapat dikalahkan oleh kantuk dan tidak pula oleh tidur. Ya Tuhan yang hidup kekal, ya Tuhan yang selalu mengurusi makhluk-Nya, tenangkanlah malamku dan tidurkan mataku.”[1]

Silahkan pembaca perhatikan kalimat-kalimat yang digaris bawahi, itulah iqtibas, kemudian bandingkan kalimat-kalimat tersebut dengan beberapa kalimat dari Ayat Kursi.
Contoh iqtibas yang dilakukan Sayyidina Ali ra: Alā innallaha qad kasyafal khalqa kasyfatan lā annahu jahila mā akhfauhu min mashūbi asrārihim wa makūni dhamāirihim walākin liyabluwahum ayyuhum ahsanu ‘amalan. “Ingatlah, sesungguhnya Allah benar-benar telah mengetahui makhluk-Nya tentang semua kondisinya hanya dengan satu kali penyingkapan saja, Dia tidak bodoh dari apa yang mereka sembunyikan dari-Nya, yakni dari rahasia-rahasia dan hati-hati mereka yang disembunyikan. Akan tetapi agar Dia menguji siapakah di antara mereka yang lebih baik amalnya.”[2]

Bandingkanlah kata-kata yang digaris bawahi di atas dengan kata-kata dari ayat 7 Surat Hud, iqtibas ini disertai sedikit perubahan kata ganti kum (antum) dalam Al-Qur’an menjadi hum dalam iqtibas ini.
Contoh wahyu iqtibasiy yang diturunkan Tuhan kepada Imam Syafi’i rh : Yā Muhammad utsbut ‘ala diini Muhammadin wa iyyaka an tuhayyida fatudhallu wa tudhillu alasta biimāmil qaumi lā khaufa ‘alaika minhu iqra innā ja’alnā fii aqnāqihim aghlālan fahiya ilal adzqāni fahum muqmahūn. “Wahai Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I tetaplah engkau pada agama Nabi Muhammad saw dan janganlah sekali-kali engkau tergelincir darinya, kalau engkau tergelincir maka engkau pun akan sesat dan akan menyesatkan pula orang lain. Bukankah engkau Imam orang-orang Islam ini? Janganlah engkau takut akan raja (yang ada sekarang) ini dan ucapkanlah: Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu dileher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, Maka karena itu mereka tertengadah.”[3]

Kalimat yang digaris bawahi adalah wahyu yang bersifat iqtibasiy yang turun kepada Imam Syafi’i, beberapa kalimatnya persis sama dengan beberapa kalimat dalam Surah Yasin ayat 8.
Contoh wahyu iqtibasiy yang turun kepada Syaikh Abdul Qadir Jailani rh: Yā ghautsal a’zham al-insānu sirriy wa anā sirruhu lau ‘arafal insānu manzilatahu ‘indiy laqāla fii kulli nafsin minal anfāsi limanil mulku al-yauma. “Hai ghauts ‘azham, manusia adalah rahasia-Ku, dan Aku adalah rahasianya. Andaikata manusia itu mengerti tentang kedudukannya di sisi-Ku, niscaya ia akan berkata di setiap hembusan nafasnya: “Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini”[4]

Syaikh Abdul Qadir Jailani adalah salah seorang wali Allah yang banyak sekali mendapat wahyu, beberapa di antaranya wahyu iqtibasiy dari Al-Qur’an. Yang digaris bawahi adalah persis sama dengan kata-kata dalam Surah Al-Mu’min ayat 16.
Contoh iqtibas Imam Abdul Mu’min Al-Asfahani, pujangga Islam termasyhur: Lā taghurannaka minazh-zhalamati katsratul juyūsi wal anshāri, Innamā nu’akhkhiruhum liyaumin taqsykhashu fiihil abshār. “Jangan sekali-kali anda tertipu oleh orang-orang zalim karena banyaknya pasukan dan pembantu mereka. Sesungguhnya kami memberi tangguh kepada mereka sampai kepada hari yang pada waktu itu mata mereka akan terbelalak”.

Yang diiqtibas oleh Imam Al-Ashfahani adalah kalimat Innamā nu’akh-khiruhum liyaumin taqsykhashu fiihil abshār dengan sedikit perbedaan pada dhamir huwa (yuakhkhiruhum) pada fiil mudharinya menjadi dhamir nahnu (nuakh-khiruhum). Ini adalah iqtibas dari Surah Ibrahim ayat 42.

Demikianlah contoh-contoh iqtibas yang masih mudah kita dapati dalam literatur-literatur Islam, baik iqtibas secara umum maupun secara khusus (wahyu yang bersifat iqtibasiy). Demikian juga halnya dengan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as banyak menerima wahyu yang diantaranya adalah wahyu iqtibasiy dari Al-Qur’an.
Wal hasil, sungguh sayang jika masih ada orang yang karena kebencian dan kekerdilannya berani menuduh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as sesat, kafir, menodai agama atau telah membajak dan mengacak-acak Al-Qur’an. Beranikah Amin Jamaluddin atau MUI mengeluarkan fatwa kafir atas Imam Syafi’I rh, seorang Imam Mazhab yang diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin Indonesia demikian juga dengan Syaikh Abdul Qadir Jailani rh? Afalā ta’qilūn?

Adakah Wahyu Setelah Rasulullah Saw Wafat?
Imam Jalaluddin As-Suyuthi rh. menjawab pertanyaan semacam itu, beliau menulis: “Ya, benar demikian. Muslim, Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan lain-lain meriwayatkan hadits dari Nawas bin Sam’an, Rasulullah bersabda: ……..bainamā huwa kadzālika idz auhallahu ila ‘isa ‘alaihis-salām “Sementara keadaan demikian Allah memberi wahyu kepada Isa bin Maryam”. Dalam hadits di atas Allah memberi wahyu kepada Isa as. setelah turun di bumi nanti, dan tampaknya yang menyampaikan wahyu malaikan Jibril as., bahkan pasti dia, karena memang itu tugasnya, sebagai duta utusan antara Allah dengan rasul-rasul-Nya, yang tak ada malaikat lain menyandang jabatan ini, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Na’im dalam kitab Dalāilun Nubuwwah”[5]

Di sini jelas sekali kita baca bahwa wahyu yang turun setelah wafatnya Rasulullah Saw. diyakini keberadaanya baik oleh Rasulullah Saw. maupun oleh para Imam Hadits, termasuk Imam Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi rh. Beranikah MUI mengeluarkan fatwa kafir terhadap ulama besar dan ahli tafsir ini?

Kalau kita mau jujur, tidak ada dasar baik dari Al-Qur’an maupun Hadits yang mengharuskan Ahmadiyah dituduh Menodai Agama, seharusnya kita sebagai umat Islam jujur mengakui bahwa Ahmadiyah adalah Penghias dan Pewangi Agama karena ajarannya berlandaskan cinta kasih sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.

Orang-orang yang mesti diadili dan dijerat dengan Pasal Penodaan Agama adalah kelompok ektrimis dan fundamentalis yang menghalalkan darah saudaranya yang sama-sama mengucapkan syahadatain, berbuat anarki atas nama JIHAD, menjarah atas nama PEMBERANTASAN ALIRAN SESAT, meneror masyarakat dengan bom bunuh diri atas nama AGAMA dan memaksakan kehendak atas nama MELINDUNGI TAUHID. Kepada aparat yang berwenang penulis berharap, semoga kaum ektrimis dan fundamentalis radikal segera “DIKARANTINAKAN”, agar Imam Samudra dan Amroji-Amroji baru tidak mudah bermunculan.

Alhamdulillahi rabbil ‘alamiin .

Referensi
[1]H.R. Thabrani dan Ibnu Suni.
[2] Nahjul Balaghah, Darul Hijrah, Qum, Iran, hal 200-201.
[3] Al-Mathalibul-Jamaliyah, Cetakan Mesir, tahun 1344 Hijriyah, hal. 23).
[4] Ismail bin Sa’id, Dialogh Suci, terjemahan K.H.Haderani HN, Nur Ilmu, Surabaya, cet IV, hal 183-184.
[5] Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Turunnya Isa bin Maryam Pada Akhir Zaman, terjemahan AK.Hamdi, CV.Haji Masagung, Jakarta, 1989, hal 46-47.
ahmadiyah membajak

Sumber

0 komentar: