Custom Search

Jumat, 04 Oktober 2013

Muslim Pertama Peraih Nobel Fisika

ZAMAN kegemilangan ilmu di dunia Islam melahirkan banyak tokoh. Tokoh-tokoh ini tidak hanya menjadi mercusuar di dunia Islam, namun menjadi obor penerang bagi dunia Barat yang masih dalam zaman kegelapan (dark age). Sebut saja, Al-Kindi, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Mulla Sadra adalah sekian dari ilmuwan-ilmuwan Islam yang begitu cemerlang. Karya-karyanya tidak saja menjadi rujukan di masanya, bahkan di masa sekarang pun teori atau pemikiran mereka masih menjadi rujukan.

Selama lebih dari tujuh abad, mulai dari abad kedelepan hingga abad keempatbelas cendekiawan Islam mendominasi keilmuan dunia. Diceritakan, kota Cordoba muslim lebih semarak, bercahaya, jauh dibanding kota Paris, Perancis di masanya. George Sarton, dalam karya monumentalnya Sejarah Sains, membagi prestasi di bidang sains dalam zaman-zaman; tiap zaman berjangka waktu sekitar setengah abad. Dengan tiap separuh abad, ia asosiasikan dengan seorang tokoh utama. Jadi, dari tahun 450 sampai 400 Sebelum Masehi, Sarton menamakan zaman Plato; ia diikuti zaman Aristoteles, zaman Euklides, zaman Archimides, dan selanjutnya. Dari tahun 600 sampai 700 Masehi kita dapatkan abad Cina dengan tokoh Hsiian Tsang dan I Ching, sedang dari tahun 750 sampai 1100 Masehi, 350 tahun secara berkesinambungan, kita temukan secara beruntun zaman-zaman Jabir, Khwarizmi, Razi, Masudi, Wafa, Biruni, dan Ibnu Sina, Ibnul Haitam, dan Umar Khayam -bangsa-bangsa Arab, Turki, Afgan, dan Persia—orang-orang yang berasal dari persemakmuran serta berkebudayaan Islam. Sesudah tahun 1100, dalam cerita George Sarton tentang Sains, baru muncul nama-nama Barat seperti Gerardo di Cremona, Roger Bacon, tetapi kehormatan ini masih harus mereka bagi selama dua ratus limapuluh tahun berikutnya dengan nama-nama Ibnu Rusyd, Nasiruddin, Tusi, dan Ibnu Nafis, orang yang mendahului Harvey dalam pengembangan teori peredaran darah (Abdussalam, 1983: 9—11).

Namun, sesudah 1350, Sains di dunia Islam mulai memudar. Sesekali muncul seperti Ulugh Beg di Samarkand, dan Zijj Muhammad Shahi di Istana Moghul di Delhi dalam tahun 1720, setelah itu tidak ada lagi jejak ilmuwan-ilmuwan Muslim. Dunia Islam dan Arab harus berpaling ke Barat. Giliran dunia Barat yang semula berada di era kegelapan, mulai merangkak menuju cahaya ilmu. Mereka memasuki era Renaissance. Banyak ilmu-ilmu yang sebelumnya dimiliki para cendekiawan muslim, kemudian mereka pinjam, bahkan tak segan-segan mereka “curi” dan dikembangkan lagi.

Faktor Eksternal dan faktor internal menjadi penyebab mundurnya Sains di lingkungan Umat Islam. Faktor Eksternal salah satunya adalah disebabkan peperangan atau kekalahan yang menimpa umat Islam, seperti kasus Mongol yang menyerbu Baghdad pada 1258 Masehi atau jatuhnya seluruh Andalusia (Spanyol). Namun, seperti diungkap Abdussalam—betapa menyedihkanpun, peristiwa itu barangkali lebih bersifat sebagai selangan sementara. Matinya kegiatan sains lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor internal.
Alasan mengapa umat Islam mencari dan mengembangkan sains dalam zaman keemasannya yaitu dalam abad kedelapan, kesembilan, kesepuluh, dan kesebelas adalah mengikuti perintah yang diulang-ulang dalam Al-Qur’ān dan sabda-sabda Rasūlu’l-Lāh saw.. Sekitar 750 ayat dalam Al-Qur’ān menegur orang-orang mukmin untuk mempelajari alam semesta, untuk berpikir, untuk menggunakan penalaran sebaik-baiknya dan untuk menjadikan kegiatan ilmiah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan ummat.

Jika disederhanakan, faktor-faktor internal yang menyebabkan kemunduran dunia Islam adalah, Pertama, tidak adanya dukungan dari pihak penguasa Islam terhadap perkembangan sains dan teknologi. Kedua, semakin berkembangnya paham literalistik, sehingga penafsiran atau inovasi di dunia Islam kemudian dipandang sebagai devian dari ajaran Islam.

DEKADENSI keilmuan di dunia Islam merentang hingga sekarang. Dunia Islam belum benar-benar bangkit kembali. Namun, obor tersebut berusaha dinyalakan kembali oleh seseorang. Bahkan berkat usahanya yang gigih, ia diganjar dengan penghargaan Nobel di bidang Fisika pada 1979 lalu. Sebuah penghargaan kelas dunia yang prestisius. Orang itu adalah Abdussalam. Fisikawan Pakistan.

Penganugerahan hadiah Nobel itu didasarkan atas jasanya dalam mengubah pandangan tentang gaya-gaya. Abdussalam termasuk orang pertama yang mengubah pandangan pasialisme para fisikawan dalam melihat kelima gaya dasar—gaya listrik, gaya magnet, gaya gravitasi, gaya kuat yang menahan proton dan neutron tetap berdekatan, serta gaya lemah yang bertangungjawab terhadap lambatnya reaksi peluruhan inti radioaktif—yang berperan di alam ini.

Selain hadiah Nobel, putra terbaik Pakistan itu juga mendapat tak kurang dari 39 gelar doktor honoris causa. Antara lain dari Universitas Edinburgh (1971), Universitas Trieste (1979), Universitas Islamabad (1979), dan universitas-universitas bergengsi di Peru, India, Polandia, Yordania, Venezuela, Turki, Filipina, Cina, Swedia, Belgia, dan Rusia. Ia juga menjadi anggota dan anggota kehormatan Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional di tigapuluh lima negara Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika (Republika, 24 November 1996).

Menurut Abdussalam, inspirasi keilmuannnya ia dapatkan dari kitab suci Al-Qur’ān. “Saya muslim karena saya percaya dengan pesan spiritual Al-Qur’ān. Al-Qur’ān banyak membantu saya dalam memahami Hukum Alam, dengan contoh-contoh fenomena kosmologi, biologi, dan kedokteran sebagai tanda bagi seluruh manusia,” kata Abdussalam dalam satu sidang UNESCO di Paris, 1984.

Tapi tahukah Anda bahwa Abdussalam adalah seorang Ahmadi (anggota Aḥmadiyyah)? Sebuah organisasi yang tidak hanya di negerinya sendiri, Pakistan, tapi belakangan di tanah air kita sering mengalami keaniayaan? Di Pakistan, tanah air Abdussalam, Ahmadiyah sangat dimarjinalkan. Kelompok ini dengan paksaan sepihak dari pemerintah digolongkan ke dalam kelompok minoritas non muslim, alias bukan dianggap bagian dari Islam semenjak 1974. Namun, ketika Abdussalam mendapatkan anugerah Nobel, serta merta tokoh ini dianggap sebagai “pahlawan Islam dan pahlawan Pakistan” Sungguh hipokrisi pemerintah Pakistan yang tidak ketulungan.

Ketika Abdussalam wafat pada 21 November 1996 di Oxford Inggris, jenazah beliau dibawa untuk dimakamkan di kota Rabwah, pusat Jama’ah Ahmadiyah di Pakistan. Di batu nisannya tertulis “First Muslim Nobel Laureate.” Sayang, kata “Muslim” di nisan tersebut kemudian diperintahkan untuk dihapus oleh pejabat lokal di sana, hanya lantaran Abdussalam adalah seorang Ahmadi. Itulah sekelumit cerita tentang ilmuwan Muslim yang bercita-cita menghidupkan kembali sains di dunia Islam yang tengah terpuruk ini.

Penulis : Akhmad Reza
Dipublikasikan oleh : Kompasiana

0 komentar: